Keluarga Tarbiyah, Tarbiyah Keluarga
Oleh Azimah Rahayu
“De, Mas keluar sebentar ya? Sudah lama tidak ngobrol. Ade tidur dulu kalau sudah ngantuk,” Aku mengangguk dan beranjak ke kamar mandi. Jarum jam sudah melewati angka sebelas. Saat hendak kembali ke kamar, pemandangan di ruang tengah itu menakjubkanku. Pria wanita paro baya dan tiga lelaki gagah tengah bercengkerama bersama di atas tikar. Tiga lelaki perkasa berlomba memijit ayah ibunya sambil berbincang akrab. Aku tak hendak mengganggu kemesraan itu. Setelah sedikit basa-basi aku masuk ke kamar.
Aku tergugu. Ah, semestinya tidak perlu. Ini hanya sedikit cemburu, namun lebih banyak kekaguman. Ini hanya sedikit goresan, namun lebih banyak kebahagian. Bahagia karena aku mendapat kesempatan menjadi bagian dari mereka. Tapi tak urung, air menetes jua dari kedua sudut mata. Kucoba menutup mata, berbaring sendirian di kamar suamiku. Di kamar sebelah, rengekan bayi merah yang belum lagi berusia sebulan kadang-kadang meningkahi. Keponakanku, yang bapaknya juga tengah bergabung di forum ayah ibu anak itu. Namun yang tak bisa terhapus dari gendang telingaku adalah suara-suara rendah dari ruang tengah di depan kamar itu. Gumaman dan canda hangat mereka. Sungguh bahagianya. Iri
****
Sesungguhnyalah, ini hanya satu dari banyak keseharian yang diam-diam menyelipkan kesungkanan di hatiku, selama kurang dari seminggu aku ada di tengah mereka. Keluarga suamiku. Bukan kesungkanan yang berawal dari ketidakenakan, namun kesungkanan yang berakar kekaguman dan respek atas akhlak yang terpancar dari tingkah laku. Bukan kesungkanan yang bersumber dari ketakutan, tapi karena malu atas diri yang masih begitu banyak memiliki kekurangan.
Dan peristiwa malam ini, adalah puncak dari segala kekaguman sekaligus keirianku, selama kurang lebih seminggu aku ada di sana. Rasanya, tidak pernah kutemui sesuatu yang tidak Islami di sana. Tidak kutemui sesuatu yang tidak mengenakkan antara satu dan lainnya.
1. Tak ada satupun praktek-praktek yang menjurus ke arah mistis dan kesyirikan. Segala sesuatu hanya mereka jalankan berlandaskan aqidah dan syariah Islam.
2. Salam terlantun dan jabat tangan erat diberikan setiap kali salah satu penghuni rumah ini berangkat atau pulang dari bepergian keluar kampung, meski hanya beberapa kilometer. Bahkan, Ibu dan Eyang selalu melengkapi dengan doa.
3. Gegas langkah berpacu menuju masjid setiap kali azan berkumandang. Namun tak lupa mereka bergantian menyisakan satu orang untuk shalat jama’ah di rumah menemani Eyang yang tak lagi kuat.
4. Lantunan ayat-ayat Qur’an nan indah bersautan tiap ba’da maghrib atau subuh. Bukan hanya indah, tapi juga tartil. Sesuatu yang selalu membuatku rela berlama-lama tertunduk mendengarkan.
5. Aurat yang selalu terjaga di segala waktu dan kesempatan.
6. Bakti dan penghormatan yang begitu takzim bagi orang tua. Kamar Eyang selalu menjadi pilihan utama untuk tempat bercengkerama.
7. Tak ada nada-nada tinggi maupun kosa kata rendah dalam perbincangan sehari-hari. Bahkan sekedar bahasa prokem pun tiada. Semua kalimat meluncur santun dari setiap lisan. Tapi toh, itu semua tidak mengurangi keakraban di antara mereka. Satu dengan yang lainnya saling mengetahui dan membicarakan setiap permasalahan anggota keluarga.
8. Semua anggota keluarga sigap dan saling membantu pekerjaan rumah tangga, tanpa diminta apatah lagi diperintah. Tak ada istilah aktifitas domestik adalah tanggung jawab seorang ibu, satu-satunya perempuan di keluarga itu. Maka rumah sederhana itu selalu tampak bersih dan rapi.
9. Silaturahim yang begitu akrab dengan kerabat. Hanya dalam waktu seminggu, rasanya sudah seluruh penghuni kampung kecil itu kukunjungi dan kukenali.
10. Kepedulian yang begitu nyata terhadap tetangga dan orang lain, serta kegiatan sosial.
11. Perhatian yang ketat terhadap kehalalan makanan, baik zat maupun cara perolehannya.
12.....Apalagi?
Baris-baris di atas hanya setitik dari keseharian mereka yang kutangkap secara kasat mata dalam waktu seminggu, namun sanggup mematrikan kesan mendalam di benakku. Keluarga ini, sungguh mencerminkan sebuah keluarga Islami yang sesungguhnya. Sibghatullah (celupan Allah) itu mewarnai mereka hingga ke tulang sumsum dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Dan itu semua adalah buah penghayatan akan Islam. Dan semua itu adalah hasil tarbiyah (pendidikan) Islamiyah yang turun temurun mereka jalankan penuh kesungguhan. Tarbiyah Islamiyah yang dibangun di atas pemahaman yang benar. Tarbiyah dalam keseharian yang menginspirasiku: Akan kudidik anak-anakku dan kubangun keluargaku dengan bercermin pada mereka.
***
Sebuah kamar yang sangat sederhana, namun penuh kehangatan cinta. Kamar bapak ibu mertuaku. Malam itu, adalah malam terakhir kami di kampung pasca pernikahan, sebelum esoknya berangkat ke Jakarta.
“Anak-anakku. Bapak dan ibu tidak punya apa-apa sebagai sangu, kecuali pesan-pesan ini. Bapak yakin, kalian berdua sudah mengerti, tapi tidak ada salahnya kalau kami mengingatkan kembali. Anggaplah ini sedikit bekal hidup berumahtangga dan bermasyarakat nanti. Pertama, satu hal yang sangat bapak pesankan, jaga shalat kalian. Sesungguhnya shalat itu pokoknya ibadah. Jika rusak shalat kalian, maka rusaklah semua amal kalian. Maka sekali lagi bapak pesankan, jaga shalat kalian baik-baik, jangan sampai bolong. Bila dapat selalu tepat waktu dan berjamaah untuk shalat wajibnya. Perbanyak shalat sunnahnya...,” Sepi sejenak membawa jeda. “Yang kedua, perbanyak teman, jangan perbanyak musuh. Di perantauan, keluarga kalian adalah tetangga terdekat kalian, bukan kita yang di kampung. Maka jaga hubungan baik dengan tetangga. Sesungguhnya pagar mangkok lebih baik daripada pagar tembok. Terus yang ketiga, jangan lupa berzakat dan infaq berapa pun pendapatan kalian. Sesungguhnya dalam setiap harta kita terdapat hak orang lain. Insya Allah, keberkahan akan dilimpahkanNya bagi harta yag senantiasa dibersihkan....”Laki-laki itu terdiam sejenak, kemudian menoleh ke wanita baya di sebelahnya. “Ibu ada yang mau ditambahkan?”
“Ibu cuma mau tambahkan satu hal: usahakan membaca Qur'an tiap hari, meski hanya beberapa ayat. Bacaan Quran di rumah kita akan membuat rumah kita adem dan tentrem. Bahkan sekalipun Genduk dan Thole terlalu lelah. Minimal lafalkan seayat dua ayat menjelang tidur jika tidak sempat membuka mushaf...,”
Aku tertunduk khusyuk. Mencoba mencerna kata demi kata yang mengalir sejuk itu. Menikmati dentam-dentam kekaguman yang kian menggunung dalam dada. Betapa bahagia aku menjadi bagian dari mereka. Dan tentu saja, betapa beruntung aku dapat belajar langsung dari keseharian mereka.
#Azimah 25/04/06, maksain nulis atas ide yang sekian lama mengendap --Persembahan untuk Bapak-Ibu Lor Sekeluarga---
“De, Mas keluar sebentar ya? Sudah lama tidak ngobrol. Ade tidur dulu kalau sudah ngantuk,” Aku mengangguk dan beranjak ke kamar mandi. Jarum jam sudah melewati angka sebelas. Saat hendak kembali ke kamar, pemandangan di ruang tengah itu menakjubkanku. Pria wanita paro baya dan tiga lelaki gagah tengah bercengkerama bersama di atas tikar. Tiga lelaki perkasa berlomba memijit ayah ibunya sambil berbincang akrab. Aku tak hendak mengganggu kemesraan itu. Setelah sedikit basa-basi aku masuk ke kamar.
Aku tergugu. Ah, semestinya tidak perlu. Ini hanya sedikit cemburu, namun lebih banyak kekaguman. Ini hanya sedikit goresan, namun lebih banyak kebahagian. Bahagia karena aku mendapat kesempatan menjadi bagian dari mereka. Tapi tak urung, air menetes jua dari kedua sudut mata. Kucoba menutup mata, berbaring sendirian di kamar suamiku. Di kamar sebelah, rengekan bayi merah yang belum lagi berusia sebulan kadang-kadang meningkahi. Keponakanku, yang bapaknya juga tengah bergabung di forum ayah ibu anak itu. Namun yang tak bisa terhapus dari gendang telingaku adalah suara-suara rendah dari ruang tengah di depan kamar itu. Gumaman dan canda hangat mereka. Sungguh bahagianya. Iri
****
Sesungguhnyalah, ini hanya satu dari banyak keseharian yang diam-diam menyelipkan kesungkanan di hatiku, selama kurang dari seminggu aku ada di tengah mereka. Keluarga suamiku. Bukan kesungkanan yang berawal dari ketidakenakan, namun kesungkanan yang berakar kekaguman dan respek atas akhlak yang terpancar dari tingkah laku. Bukan kesungkanan yang bersumber dari ketakutan, tapi karena malu atas diri yang masih begitu banyak memiliki kekurangan.
Dan peristiwa malam ini, adalah puncak dari segala kekaguman sekaligus keirianku, selama kurang lebih seminggu aku ada di sana. Rasanya, tidak pernah kutemui sesuatu yang tidak Islami di sana. Tidak kutemui sesuatu yang tidak mengenakkan antara satu dan lainnya.
1. Tak ada satupun praktek-praktek yang menjurus ke arah mistis dan kesyirikan. Segala sesuatu hanya mereka jalankan berlandaskan aqidah dan syariah Islam.
2. Salam terlantun dan jabat tangan erat diberikan setiap kali salah satu penghuni rumah ini berangkat atau pulang dari bepergian keluar kampung, meski hanya beberapa kilometer. Bahkan, Ibu dan Eyang selalu melengkapi dengan doa.
3. Gegas langkah berpacu menuju masjid setiap kali azan berkumandang. Namun tak lupa mereka bergantian menyisakan satu orang untuk shalat jama’ah di rumah menemani Eyang yang tak lagi kuat.
4. Lantunan ayat-ayat Qur’an nan indah bersautan tiap ba’da maghrib atau subuh. Bukan hanya indah, tapi juga tartil. Sesuatu yang selalu membuatku rela berlama-lama tertunduk mendengarkan.
5. Aurat yang selalu terjaga di segala waktu dan kesempatan.
6. Bakti dan penghormatan yang begitu takzim bagi orang tua. Kamar Eyang selalu menjadi pilihan utama untuk tempat bercengkerama.
7. Tak ada nada-nada tinggi maupun kosa kata rendah dalam perbincangan sehari-hari. Bahkan sekedar bahasa prokem pun tiada. Semua kalimat meluncur santun dari setiap lisan. Tapi toh, itu semua tidak mengurangi keakraban di antara mereka. Satu dengan yang lainnya saling mengetahui dan membicarakan setiap permasalahan anggota keluarga.
8. Semua anggota keluarga sigap dan saling membantu pekerjaan rumah tangga, tanpa diminta apatah lagi diperintah. Tak ada istilah aktifitas domestik adalah tanggung jawab seorang ibu, satu-satunya perempuan di keluarga itu. Maka rumah sederhana itu selalu tampak bersih dan rapi.
9. Silaturahim yang begitu akrab dengan kerabat. Hanya dalam waktu seminggu, rasanya sudah seluruh penghuni kampung kecil itu kukunjungi dan kukenali.
10. Kepedulian yang begitu nyata terhadap tetangga dan orang lain, serta kegiatan sosial.
11. Perhatian yang ketat terhadap kehalalan makanan, baik zat maupun cara perolehannya.
12.....Apalagi?
Baris-baris di atas hanya setitik dari keseharian mereka yang kutangkap secara kasat mata dalam waktu seminggu, namun sanggup mematrikan kesan mendalam di benakku. Keluarga ini, sungguh mencerminkan sebuah keluarga Islami yang sesungguhnya. Sibghatullah (celupan Allah) itu mewarnai mereka hingga ke tulang sumsum dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Dan itu semua adalah buah penghayatan akan Islam. Dan semua itu adalah hasil tarbiyah (pendidikan) Islamiyah yang turun temurun mereka jalankan penuh kesungguhan. Tarbiyah Islamiyah yang dibangun di atas pemahaman yang benar. Tarbiyah dalam keseharian yang menginspirasiku: Akan kudidik anak-anakku dan kubangun keluargaku dengan bercermin pada mereka.
***
Sebuah kamar yang sangat sederhana, namun penuh kehangatan cinta. Kamar bapak ibu mertuaku. Malam itu, adalah malam terakhir kami di kampung pasca pernikahan, sebelum esoknya berangkat ke Jakarta.
“Anak-anakku. Bapak dan ibu tidak punya apa-apa sebagai sangu, kecuali pesan-pesan ini. Bapak yakin, kalian berdua sudah mengerti, tapi tidak ada salahnya kalau kami mengingatkan kembali. Anggaplah ini sedikit bekal hidup berumahtangga dan bermasyarakat nanti. Pertama, satu hal yang sangat bapak pesankan, jaga shalat kalian. Sesungguhnya shalat itu pokoknya ibadah. Jika rusak shalat kalian, maka rusaklah semua amal kalian. Maka sekali lagi bapak pesankan, jaga shalat kalian baik-baik, jangan sampai bolong. Bila dapat selalu tepat waktu dan berjamaah untuk shalat wajibnya. Perbanyak shalat sunnahnya...,” Sepi sejenak membawa jeda. “Yang kedua, perbanyak teman, jangan perbanyak musuh. Di perantauan, keluarga kalian adalah tetangga terdekat kalian, bukan kita yang di kampung. Maka jaga hubungan baik dengan tetangga. Sesungguhnya pagar mangkok lebih baik daripada pagar tembok. Terus yang ketiga, jangan lupa berzakat dan infaq berapa pun pendapatan kalian. Sesungguhnya dalam setiap harta kita terdapat hak orang lain. Insya Allah, keberkahan akan dilimpahkanNya bagi harta yag senantiasa dibersihkan....”Laki-laki itu terdiam sejenak, kemudian menoleh ke wanita baya di sebelahnya. “Ibu ada yang mau ditambahkan?”
“Ibu cuma mau tambahkan satu hal: usahakan membaca Qur'an tiap hari, meski hanya beberapa ayat. Bacaan Quran di rumah kita akan membuat rumah kita adem dan tentrem. Bahkan sekalipun Genduk dan Thole terlalu lelah. Minimal lafalkan seayat dua ayat menjelang tidur jika tidak sempat membuka mushaf...,”
Aku tertunduk khusyuk. Mencoba mencerna kata demi kata yang mengalir sejuk itu. Menikmati dentam-dentam kekaguman yang kian menggunung dalam dada. Betapa bahagia aku menjadi bagian dari mereka. Dan tentu saja, betapa beruntung aku dapat belajar langsung dari keseharian mereka.
#Azimah 25/04/06, maksain nulis atas ide yang sekian lama mengendap --Persembahan untuk Bapak-Ibu Lor Sekeluarga---
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home