<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d28801414\x26blogName\x3dabuhukma\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dSILVER\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://abuhukma.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://abuhukma.blogspot.com/\x26vt\x3d3501705340879873369', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>


abuhukma

Sunday, June 11, 2006

Health Journal | Medical Equipment | Indonesian Cuisine | First Aid | Dialysis Machine | Ultrasound | Nursing Agency |

Di Usia Tiga Puluhan

Oleh Ummu Nabilah

Suatu hari di sebuah acara, saya bertemu dengan seorang teman lama. Ia tampak tujuh tahun lebih muda dari usianya. Kami saling menanyakan kabar setelah lebih dari sepuluh tahun tak jumpa. Kini, ia masih sendiri di usianya yang tiga puluh empat tahun.

Ia tidak sendiri. Banyak di tengah-tengah kita para wanita yang juga masih melajang di usianya yang sudah kepala tiga. Malah, tidak sedikit dari mereka sudah berusia lebih dari tiga puluh lima tahun. Entah apa penyebabnya hingga mereka belum menemukan pasangan hidup di usia mereka yang sudah cukup matang. Itu semua adalah rahasia Allah. Hanya yang saya ketahui, mereka yang saya kenal adalah wanita baik-baik. wanita yang layak untuk dicintai, menjadi isteri dan seorang ibu.

Pernah terbersit dalam pikiran saya, seandainya saya seorang laki-laki dan boleh memilih isteri sesuka hati, maka pilihan saya akan jatuh pada salah satu dari mereka. Sebut saja namanya (bukan nama sebenarnya) Aisyah. Ia seorang yang berwajah relatif manis, pintar, baik hati, lembut, dermawan, suka berkorban untuk orang lain, pendeknya berbagai kelebihan melekat padanya. Iapun seorang yang biasa-biasa saja, bukan tipe orang yang menetapkan standar tinggi untuk pasangan hidupnya.

Maka apalagi jalan yang menghalanginya untuk segera menemukan sang jodoh? Jawabnya adalah bahwa semua itu belum dikehendaki-Nya. Sebagai orang beriman, tentu kita harus bisa mencari hikmah di balik keputusan Yang Mahakuasa ini. Allah menjelaskan, ”…boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah:216).

Namun, tak mudah menjalani kehidupan ini seorang diri. Tuntutan keluarga untuk segera menikah yang tak hanya satu dua kali terdengar kerap membuat hati kian merana. Kondisi ini diperparah lagi dengan pola pikir masyarakat kita yang masih kurang memahami hakikat kehidupan ini dan masih sering mempersoalkan status para wanita yang masih melajang di usia yang sudah matang.

Saya sendiri menikah pada usia yang juga sudah tigapuluhan, tepatnya tiga puluh satu tahun lebih enam bulan. Belum terlalu tua memang, namun sudah cukup tua bila dibandingkan dengan orang-orang di sekitar saya, apalagi yang berlatar belakang seperti saya. Mereka sebagian besar atau bisa dikatakan hampir seluruhnya menikah dalam usia muda, antara dua puluh satu sampai dua puluh empat tahun.

Saya bukan ingin menceritakan bahwa saya adalah orang yang patut dicontoh karena sangat sabar menghadapi masa penantian itu. Justru sebaliknya, yang ingin saya ceritakan adalah betapa kurangnya kesabaran saya menghadapi semua ini. Saya sudah tak ingat lagi betapa banyak airmata terkuras karenanya. Langkah kaki inipun kadang tertatih-tatih berjalan di antara jatuh dan bangun.

Kini, kalau mengingat semua itu saya menyesal. Malu rasanya diri ini di hadapan-Nya. Dan entah berapa “nilai” yang akan diberikan Sang Juri ketika melihat “prestasi “ saya itu. Ingin rasanya memperbaiki, tapi nasi sudah menjadi bubur. Mungkin yang bisa saya lakukan sekarang adalah bahwa saya harus lebih memperbaiki diri dan senantiasa ridho sepenuh hati pada-Nya. Alhamdulillah, kesempatan itu masih terbuka lebar sebelum Malaikat Izrail datang memanggil.

Banyak orang mengatakan bahwa hal yang tidak disukai dalam hidupnya adalah menunggu. Menunggu memang membosankan. apalagi menunggu sesuatu yang belum pasti terjadi. Tapi menunggu juga mengasyikkan karena melatih jiwa menuju sabar. Sabar menunggu janji-Nya yang pasti terjadi, karena Allah Maha Menepati Janji. Seandainya Allah tak memberi untuk kita jodoh di dunia, maka Dia akan memberikannya di akhirat.

Tetap bersyukur dan meyakini bahwa Allah Mahaadil akan menguatkan jiwa kita ketika ujian datang menyapa. Allah mengingatkan kita,"Apakah kamu mengira akan masuk surga padahal belum datang kepadamu (ujian) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kami. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, diguncang (dengan berbagai cobaan). Sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, "Kapankah datang pertolongan Allah? Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (QS Al-Baqarah: 214).

***
Teriring salam sayang untuk Al’aa, uhibbuki fillah.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home