Memohon yang Terbaik
Oleh Lizsa Anggraeny
13 Jul 06 00:49 WIB
“Maaf, program terapi kali ini gagal kembali....” seorang dokter ahli terapi infertilitas di hadapan saya menyatakan penyesalan. Wajahnya terlihat muram menyatakan ungkapan rasa empati. Saya yang saat itu menjadi 'subjek' kegagalan, tentu saja merasa kecewa, sedih, kesal, marah atas kabar itu. Apalagi jika mengingat biaya yang tidak sedikit yang telah dikeluarkan dalam mengikuti satu kali terapi program tersebut, lemas rasanya tubuh ini. Ternyata hasil yang didapat sia-sia.
Sudah lima kali saya mengikuti program terapi infertilisasi seperti ini. Tidak salah jika kegagalan kali ini membuat rasa kecewa saya semakin menumpuk. Saya seolah meminta pertanggungjawaban atas jawaban dari kegagalan tersebut. Hati saya mulai menyalahkan dokter yang menangani. Kenapa bisa gagal? Salahnya di mana? Bukankah anda adalah dokter ahli untuk hal ini? Percuma saya bayar mahal!... Dan beberapa ungkapan kekecewaan lainnya. Rasanya belum hilang badan ini oleh rasa sakit suntikan-suntikan yang telah dihujamkan untuk terapi. Hari itu saya tidak bisa menerima kenyataan. Hati saya telah dibutakan oleh sebuah kata "gagal" akan program terapi untuk memiliki anak.
Cukup lama saya berusaha menstabilkan perasaan. Saya coba mengingat hal-hal apa saja yang telah diusahakan untuk mensukseskan ikhtiar ini. Di antaranya menjaga kesehatan, rutin kontrol berobat, mengurangi aktivitas di luar dan tentunya tidak lupa berdo'a.
Setiap kali berdo'a, saya meminta agar Allah memberikan yang terbaik bagi saya yang sedang berikhtiar memiliki keturunan. Saya berharap program terapi kali ini adalah ikhtiar yang terakhir, mengingat usia saya yang terus merambat jauh melewati angka 30. Saya memohon agar program kali ini berhasil.
Memohon yang terbaik. Ya, dalam setiap do'a, saya selalu sisipkan kata-kata "yang terbaik." Saya ingin usaha ini adalah suatu ikhtiar untuk memperoleh hasil yang terbaik. Tapi terbaik menurut siapa? Kadang saya salah kaprah, meminta yang terbaik itu menurut versi saya bukan kebaikan versi Allah SWT. Suatu permintaan yang saya anggap baik tanpa penah tahu hakikatnya jika hal tersebut dikabulkan oleh Allah.
Saya teringat, bahwa suatu pengabulan do'a, bukan semata karena kemuliaan orang yang memohon. Allah mungkin akan mengabulkan hajat orang yang berdo'a, namun belum tentu dalam tercapainnya do'a tersebut adanya ridha Allah. Boleh jadi perngabulan do'a itu malah dapat memperjauh jarak antara si pendo'a dengan Allah. Ih... bergidik saya dibuatnya. Betapa sombongnya saya yang selalu memohon agar Allah memberikan yang terbaik untuk ikhtiar saya, tetapi ingkar dan merasa kecewa berat ketika do'a tersebut melenceng dari keinginan. Astaghfirullah....
Saya seolah lupa, bahwa tidak diijabahnya sebuah do'a oleh Allah SWT bukan berarti do'a tersebut tidak diridhai atau adanya kenistaan pada si peminta. Boleh jadi dengan penahanan do'a tersebut justru karena adanya kecintaan, kemuliaan dan rasa sayang Allah pada hambanya. Di mana Allah ingin melindungi hamba tersebut jatuh pada jurang kehinaan. Sungguh luar biasa kasih sayang Allah. Subhanallah, kenapa saya lupa akan hal ini?
Saya sangat berterima kasih kepada partner tercinta-suami yang tak pernah putus-putusnya mengingatkan akan hakekat seorang hamba yang lemah. Di mana seorang hamba hanya bisa berikhtiar dan berdo'a, sedang hasil akhirnya diserahkan kepada Allah yang Maha mengetahui segala sesuatu. Karena apa yang terbaik menurut kita, belum tentu terbaik di mata Allah. "Yang penting tidak putus asa ikhtiar, Neng," begitu selalu suami menghibur saya.
Alhamdulillah `ala kulli hal, kini saya mulai bisa menata hati untuk menyikapi secara positip kegagalan di atas. Saya tidak pernah meragukan keahlian dokter terapi infertilitas yang saat ini menangani saya, tapi saya percaya di atas seorang dokter ahli ada yang lebih dan Maha ahli, yaitu Allah swt. Seperti yang dikatakan Rasulullah saw, "Ketahuilah seandainya semua mahluk bersepakat untuk membantumu dengan apa yang tidak ditakdirkan Allah, mereka tidak akan membantumu. Atau bila mereka bersatu menghalangi engkau memperoleh apa yang sudah Allah takdirkan, mereka pun tidak akan mampu melakukannya. Ketahuilah, bersabar dalam musibah akan memberikan hasil yang positif dan kemenangan dicapai dengan kesabaran. Kesuksesan sering dilalui lewat cobaan yang berat dan kemudahan itu datang setelah kesulitan." (HR Ahmad, Hakim, Tirmidzi)
Saya percaya, jalan ikhtiar yang telah saya lalui tidaklah sia-sia. Mudah-mudahan apa yang telah saya jalani dalam proses terapi serta kegagalannya dapat menambah ketangguhan saya dalam menghadapi cobaan-NYA. Menyadari bahwa diri ini lemah tanpa adanya Sang Penolong. Dapat menyikapi episode kegagalan dengan hati ikhlas serta ridha menerima kenyataan apapun yang terlah digariskan oleh Allah SWT. Saya yakin inilah jawaban dari permohonan saya agar diberikan yang terbaik oleh Allah SWT. Perencanaan Allah yang tentu tidak sama dengan perencanaan si pemohon do'a. Hanya perencanaan Allah sajalah yang terbaik.
Wallahu`alam bisshowab.
13 Jul 06 00:49 WIB
“Maaf, program terapi kali ini gagal kembali....” seorang dokter ahli terapi infertilitas di hadapan saya menyatakan penyesalan. Wajahnya terlihat muram menyatakan ungkapan rasa empati. Saya yang saat itu menjadi 'subjek' kegagalan, tentu saja merasa kecewa, sedih, kesal, marah atas kabar itu. Apalagi jika mengingat biaya yang tidak sedikit yang telah dikeluarkan dalam mengikuti satu kali terapi program tersebut, lemas rasanya tubuh ini. Ternyata hasil yang didapat sia-sia.
Sudah lima kali saya mengikuti program terapi infertilisasi seperti ini. Tidak salah jika kegagalan kali ini membuat rasa kecewa saya semakin menumpuk. Saya seolah meminta pertanggungjawaban atas jawaban dari kegagalan tersebut. Hati saya mulai menyalahkan dokter yang menangani. Kenapa bisa gagal? Salahnya di mana? Bukankah anda adalah dokter ahli untuk hal ini? Percuma saya bayar mahal!... Dan beberapa ungkapan kekecewaan lainnya. Rasanya belum hilang badan ini oleh rasa sakit suntikan-suntikan yang telah dihujamkan untuk terapi. Hari itu saya tidak bisa menerima kenyataan. Hati saya telah dibutakan oleh sebuah kata "gagal" akan program terapi untuk memiliki anak.
Cukup lama saya berusaha menstabilkan perasaan. Saya coba mengingat hal-hal apa saja yang telah diusahakan untuk mensukseskan ikhtiar ini. Di antaranya menjaga kesehatan, rutin kontrol berobat, mengurangi aktivitas di luar dan tentunya tidak lupa berdo'a.
Setiap kali berdo'a, saya meminta agar Allah memberikan yang terbaik bagi saya yang sedang berikhtiar memiliki keturunan. Saya berharap program terapi kali ini adalah ikhtiar yang terakhir, mengingat usia saya yang terus merambat jauh melewati angka 30. Saya memohon agar program kali ini berhasil.
Memohon yang terbaik. Ya, dalam setiap do'a, saya selalu sisipkan kata-kata "yang terbaik." Saya ingin usaha ini adalah suatu ikhtiar untuk memperoleh hasil yang terbaik. Tapi terbaik menurut siapa? Kadang saya salah kaprah, meminta yang terbaik itu menurut versi saya bukan kebaikan versi Allah SWT. Suatu permintaan yang saya anggap baik tanpa penah tahu hakikatnya jika hal tersebut dikabulkan oleh Allah.
Saya teringat, bahwa suatu pengabulan do'a, bukan semata karena kemuliaan orang yang memohon. Allah mungkin akan mengabulkan hajat orang yang berdo'a, namun belum tentu dalam tercapainnya do'a tersebut adanya ridha Allah. Boleh jadi perngabulan do'a itu malah dapat memperjauh jarak antara si pendo'a dengan Allah. Ih... bergidik saya dibuatnya. Betapa sombongnya saya yang selalu memohon agar Allah memberikan yang terbaik untuk ikhtiar saya, tetapi ingkar dan merasa kecewa berat ketika do'a tersebut melenceng dari keinginan. Astaghfirullah....
Saya seolah lupa, bahwa tidak diijabahnya sebuah do'a oleh Allah SWT bukan berarti do'a tersebut tidak diridhai atau adanya kenistaan pada si peminta. Boleh jadi dengan penahanan do'a tersebut justru karena adanya kecintaan, kemuliaan dan rasa sayang Allah pada hambanya. Di mana Allah ingin melindungi hamba tersebut jatuh pada jurang kehinaan. Sungguh luar biasa kasih sayang Allah. Subhanallah, kenapa saya lupa akan hal ini?
Saya sangat berterima kasih kepada partner tercinta-suami yang tak pernah putus-putusnya mengingatkan akan hakekat seorang hamba yang lemah. Di mana seorang hamba hanya bisa berikhtiar dan berdo'a, sedang hasil akhirnya diserahkan kepada Allah yang Maha mengetahui segala sesuatu. Karena apa yang terbaik menurut kita, belum tentu terbaik di mata Allah. "Yang penting tidak putus asa ikhtiar, Neng," begitu selalu suami menghibur saya.
Alhamdulillah `ala kulli hal, kini saya mulai bisa menata hati untuk menyikapi secara positip kegagalan di atas. Saya tidak pernah meragukan keahlian dokter terapi infertilitas yang saat ini menangani saya, tapi saya percaya di atas seorang dokter ahli ada yang lebih dan Maha ahli, yaitu Allah swt. Seperti yang dikatakan Rasulullah saw, "Ketahuilah seandainya semua mahluk bersepakat untuk membantumu dengan apa yang tidak ditakdirkan Allah, mereka tidak akan membantumu. Atau bila mereka bersatu menghalangi engkau memperoleh apa yang sudah Allah takdirkan, mereka pun tidak akan mampu melakukannya. Ketahuilah, bersabar dalam musibah akan memberikan hasil yang positif dan kemenangan dicapai dengan kesabaran. Kesuksesan sering dilalui lewat cobaan yang berat dan kemudahan itu datang setelah kesulitan." (HR Ahmad, Hakim, Tirmidzi)
Saya percaya, jalan ikhtiar yang telah saya lalui tidaklah sia-sia. Mudah-mudahan apa yang telah saya jalani dalam proses terapi serta kegagalannya dapat menambah ketangguhan saya dalam menghadapi cobaan-NYA. Menyadari bahwa diri ini lemah tanpa adanya Sang Penolong. Dapat menyikapi episode kegagalan dengan hati ikhlas serta ridha menerima kenyataan apapun yang terlah digariskan oleh Allah SWT. Saya yakin inilah jawaban dari permohonan saya agar diberikan yang terbaik oleh Allah SWT. Perencanaan Allah yang tentu tidak sama dengan perencanaan si pemohon do'a. Hanya perencanaan Allah sajalah yang terbaik.
Wallahu`alam bisshowab.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home