<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d28801414\x26blogName\x3dabuhukma\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dSILVER\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://abuhukma.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://abuhukma.blogspot.com/\x26vt\x3d3501705340879873369', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>


abuhukma

Saturday, June 24, 2006

Health Journal | Medical Equipment | Indonesian Cuisine | First Aid | Dialysis Machine | Ultrasound | Nursing Agency |

miracle of the qur'an

The word day /يوم in al qur'an
repeated 365 times

The word days / أيام in al qur'an
repeated 30 times

the word month in al qur'an repeated 12 times

Punishment repeated 117 times but for forgiveness repeated 2 x 117

the word world repeated 115 times equal with the word hereafter 115 times

seven heaven repeated 7 times

The creation of heaven repeated 7 times

faith repeated25 times

infidely repeated 25 times

Health Journal | Medical Equipment | Indonesian Cuisine | First Aid | Dialysis Machine | Ultrasound | Nursing Agency |

Sang Penjamin Rizki

24 Jun 06 12:07 WIB

Abu Hukma dan sekeluarga mengucapkan selamat atas kelahiran anggota keluarga baru bagi:
1. Saudara eko atas lahirnya Muhammad Zaki
2. Saudara Mono atas lahirnya seorang putra
3. Saudara Purnama atas lahirnya Fadli
4. Saudara Sulaeman atas lahirnya seorang putri

Mudah-mudahan menjadi anak-anak yang sholeh sholehah yang bisa menjadi investasi kebaikan bagi orang tua mereka didunia dan di akhirat



Ketika anak saya lahir, hampir semua tetangga, saudara, teman dan juga kenalan-kenalan dekat saya, menjenguk mengucapkan selamat. Saya cukup bergembira dengan antusiasme mereka. Begitulah suasana di kampung. Kegotong royongan, silaturrahmi antar tetangga, alhamdulillah masih tumbuh subur tak lapuk ditelan zaman

Mereka datang mendoakan kami sekeluarga. Memberikan untaian doa kepada buah hati saya. Dan tak jarang juga yang memberikan tips-tips kepada isteri saya agar cepat sehat setelah melahirkan dengan resep-resep tradisional. Ada juga beberapa tetangga yang datang membawa buah tangan. Bentuknya macam-macam. Ada yang berupa barang-barang jenis keperluan bayi, seperti popok, bedak, sabun dan baju-baju kecil yang lucu-lucu. Dan ada juga jenis-jenis makanan, dari jajan pasar, sayur mayur, minyak goreng sampai daging ayam. Saya berterima kasih sekali dengan mereka.

Namun ada seorang tetangga yang begitu datang dan melihat buah hati saya lahir, langsung berkata. ”Jabang bayi, kenapa kau lahir di zaman susah begini? Di saat barang-barang serba mahal? Kenapa kau lahir tidak pada waktu bahan makanan sedang murah?”

Ada rasa geli, lucu, tapi juga menguras sedikit otak saya, ketika mendengar ucapan perempuan itu. Paling tidak saya jadi bertanya dengan diri sendiri, kenapa ia mengucapkan hal seperti itu? Tidak ada kata lainkah yang lebih enak didengar selain kalimat itu?

Saya tidak tahu alasannya, mengapa tetangga saya mengatakan hal seperti itu, tapi yang jelas, orang yang baru melahirkan itu banyak membutuhkan makanan bergizi, supaya bayi dan ibunya sehat. Sedangkan barang-barang jenis makanan yang bergizi nyaris semua mahal.

Akhirnya saya sedikit paham dengan kalimat dia. Dia tentu memandang latar belakang saya, yang usahanya sedang hancur terpengaruh gelombang reformasi. Perempuan itu tentu bukannya asal ngomong mengatakan hal seperti itu, karena ia melihat sehari-hari keadaan ekonomi saya. Usaha kecil-kecilan yang sudah saya rintis cukup lama nyaris tak bisa bangkit lagi. Sedang harga bahan-bahan makanan yang bergizi sudah melambung. Mungkin saja begitu. Sebab waktu itu harga beras yang masuk dalam daftar beras ‘enak’ terlalu mahal untuk ukuran saya.

Saya memang susah. Saya tak mengelak keadaan seperti itu. Seiring dengan lahirnya si buah hati, usaha saya makin sulit. Ini saya akui. Banyak rizki yang datang kepada saya, tapi bukan lewat keringat saya. Banyak teman-teman yang datang di hari-hari berikutnya membawa sesuatu yang sangat menolong keberadaan ekonomi saya.

Apapun bentuknya, dari siapapun datangnya, yang jelas itu rizki dari Allah untuk kami, terutama si buah hati yang baru lahir. Karena kata Allah, tak ada satupun mahluk yang dilahirkan ke dunia ini tanpa membawa rizki. Tentunya ini adalah keyakinan yang harus saya pegang sampai kapanpun, dalam kedaan ekonomi seperti apapun.

Dan tidak ada suatu binatang melatapun dimuka bumi, melainkan Allah lah yang memberi rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu, dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam kitab yang nyata. (QS Huud: 6)

Biar si perempuan tetangga saya sangat menghawatirkan rizki anak saya, tapi saya tidak. Biar reformasi tak kan kunjung ada hasilnya, saya yakin Allah tak kan berhenti memberikan rizki kepada makhlukNya.

***
Purwokerto, Juni 06

Friday, June 23, 2006

Health Journal | Medical Equipment | Indonesian Cuisine | First Aid | Dialysis Machine | Ultrasound | Nursing Agency |

Wahai Para Suami, Jangan Tinggalkan Kami…

Oleh Afnan Karimah


Tragedi seorang ibu dengan tiga anaknya yang akhir-akhir ini menjadi pusat pemberitaan media massa membuat ulu hatiku terasa nyeri, sangat nyeri. Aku tidak ingin membuat analisa apapun tentang kasus ini, tapi, entah mengapa, hal itu mengingatkanku pada masa-masa pasca melahirkan kedua buah hatiku. Segera setelah melahirkan, aku merasa kehilangan semangat hidup, kehilangan selera makan, serta kehilangan energi dan motivasi untuk melakukan apapun. Aku pun merasakan kekecewaan yang besar terhadap dunia di sekitarku dan merasa hidup ini tidak ada lagi gunanya. Tangisan bayi terasa bagaikan menerorku siang dan malam, seolah bayi itu tak mau membiarkanku menjadi diriku sejenak saja. Ya, saat itu aku merasa sudah kehilangan diri sendiri. Bahkan, kadang-kadang hal itu membuatku marah, sangat marah kepada bayiku.

Mungkin situasi itu tidak akan terjadi bila ada yang mendampingiku secara penuh setelah melahirkan. Namun apa daya, kedua orangtuaku tinggal di luar kota dan mereka sudah sangat tua. Kakakku satu-satunya tinggal bersama suaminya di luar negeri. Mertuaku sudah meninggal. Ipar-iparku? Ah, mereka hanya datang menengok sebentar-sebentar saja. Semua orang punya kesibukan masing-masing, aku memakluminya. Maka tinggallah aku sendiri menjalani masa-masa pasca melahirkan, dengan didampingi suami yang juga harus meninggalkanku selama hampir 12 jam sehari untuk mencari nafkah.

Sekitar dua tahun kemudian, melalui sebuah majalah terbitan Amerika yang kupinjam dari temanku, barulah aku mengetahui bahwa yang terjadi pada diriku waktu itu adalah depresi pasca melahirkan atau diistilahkan juga dengan 'baby blues'. Berapa lama seorang ibu menderita baby blues, sangat relatif. Ada yang sebentar, ada pula yang berkepanjangan selama berbulan-bulan, bila tidak ditangani. Seperti yang kubaca di majalah itu, baby blues bisa menimpa kaum ibu yang tidak memiliki anggota keluarga atau teman yang bisa diajak bicara (curhat), ibu yang sedang mengalami depresi karena sebab-sebab di luar masalah kehamilan dan persalinan (misalnya, sedang depresi memikirkan masalah ekonomi), atau ibu yang memiliki kehidupan yang berat pada masa kehamilan dan pasca melahirkan.

Di majalah itu diceritakan kasus seorang ibu yang membunuh bayinya karena depresi menghadapi tangis bayi itu. Konon, setelah kejadian itu, di Amerika disediakan layanan telepon khusus bagi ibu-ibu yang baru melahirkan. Setiap kali mereka merasa panik dan hampir kehilangan kendali menghadapi bayi, mereka bisa menelpon untuk sekedar curhat dan menenangkan diri. Memang, terapi terbaik untuk mengatasi masalah ini adalah "terapi bicara." Ya, bicara.

Yang kami—para ibu yang baru melahirkan—butuhkan agaknya hanya teman untuk menemani kami menjalani masa-masa berat itu. Aku ingat, karena sering menangis dan murung (dan marah-marah), suamiku akhirnya meminta cuti selama sebulan—lalu diperpanjang lagi selama sebulan berikutnya, tanpa gaji. Waktu dua bulan penuh itu dihabiskannya seratus persen di sampingku. Dia membantuku mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga. Dia akan segera menggendong bayi kami ketika dilihatnya aku mulai marah dan kehilangan kesabaran menghadapi tangisnya. Tentu saja dia tidak tahu apa-apa tentang baby blues. Hanya nalurinya saja yang mendorongnya untuk mengambil tindakan itu, dan ternyata memang itulah tindakan terbaik, sehingga alhamdulillah, masa-masa berat itu berhasil kami lalui dengan selamat.

Pasca melahirkan anakku yang kedua, kebetulan kami telah pindah rumah. Kami memiliki seorang tetangga yang sangat penuh perhatian, namanya Ibu Yuni. Hampir setiap hari, dia menyempatkan diri untuk menjengukku barang sepuluh-lima belas menit. Ajaib, kunjungannya benar-benar sangat mujarab untuk menyelamatkanku dari serangan baby blues kedua. Suamiku sama sekali tidak perlu cuti berbulan-bulan lagi, cukup seminggu saja. Aku dapat jauh lebih tenang menjalani masa-masa pasca persalinan karena merasa ada seseorang yang siap mendengarkan keluhanku, walau hanya sekedar, "Aduh, pusing nih, dari tadi Iqbal nangis mulu!" dan mendengar jawaban dari Ibu Yuni sekedar, "Oh, mungkin perutnya kembung."

Pengalamanku ini membuatku mengambil dua kesimpulan besar. Pertama, sebagai perempuan, bila ada teman kita yang baru melahirkan (dan kita tahu dia sendirian, tanpa ibu atau saudara yang mendampingi), sebisa mungkin banyak-banyaklah menjenguknya, atau paling tidak, mengirimkan SMS kepadanya. Percayalah, hal itu sangat berperan besar untuk membantunya melewati masa-masa berat pasca melahirkan. Kedua, kepada para suami, aku ingin berpesan, "Wahai para suami, jangan tinggalkan kami pada masa-masa berat ini. Kami butuh kalian saat ini, bukan nanti, ketika pekerjaan selesai. Tidak ada kata nanti. Saat ini juga, dampingilah kami sebentar, supaya kami bisa menemukan diri kami kembali dan siap kembali menjalani hari-hari dengan kestabilan emosi."

Thursday, June 22, 2006

Health Journal | Medical Equipment | Indonesian Cuisine | First Aid | Dialysis Machine | Ultrasound | Nursing Agency |

Membanding Dua Negeri

Oleh Bahtiar Hs

Awal 2005. Selepas tsunami.

Bukit berpohon lebat, padang terhampar hijau, ladang luas bertumbuh bermacam tanaman, pekarangan pun penuh bunga dan buah. Asri yang terasa memandang kanan-kiri jalan yang kami lalui. Sesekali mobil berlalu dari arah berlawanan. Jalan cenderung sepi. Honda Accord bergigi matic ini pun melaju dengan tenang. Aku duduk di belakang kemudi. Pengalaman pertama buatku menggunakan mobil berpersneleng otomatis. Di negeri orang lagi. Perlis Indera Kayangan, Malaysia.

Kami tengah menuju Wang Kelian. Sebuah border zone antara Malaysia dan Thailand Selatan. Sebuah kawasan bebas bea. Mayoritas muslim. Bagaimanapun penduduk Thailand Selatan (Pattani, Yala, Narathiwat, Setun, Songkhla) yang kebanyakan Melayu lebih dekat secara geografis, budaya dan religius dengan Malaysia (khususnya semenanjung utara, seperti Perlis, Kedah, Pulau Pinang, Perak, Selangor) ketimbang Thailand.

Beberapa puan, termasuk isteriku, di jok belakang berceloteh riuh selama perjalanan. Menakjubi pemandangan yang dijumpai di kiri-kanan jalan.

Namun, aku lebih tertarik satu hal dalam perjalanan ini. Jalan. Ya, aku memperhatikan jalan-jalan di negeri Perlis ini. Sepanjang jalan mulai Kangar, ibukota Perlis, hingga perbukitan Gua Kelam sebelum Wang Kelian selalu ada bahu jalan kanan dan kiri selebar sekitar 1,5 meter dengan garis pembatas yang putih jelas. Disediakan untuk tempat berlalu sepeda motor. Selain mereka tertib mematuhi traffic light, yang menakjubkan adalah tak ada satupun kendaraan roda dua yang tidak menyalakan lampu bahkan di siang hari dan tidak ada satupun sepeda motor berlalu di jalan kecuali selalu berjalan di tempat yang telah disediakan buat mereka itu. Tidak kulihat ada sepeda motor yang berlalu di jalur mobil! Bahkan ketika kami memasuki daerah pedesaan yang sepi menjelang Gua Kelam, pemandangan itu tak jauh berbeda.

Bagiku ini sangat mengherankan.

“Cik Hasyim,” sapaku pada pegawai Tuan Haji Ismail yang menyertai kami. Ia duduk di sebelahku, setelah tadi memberiku kesempatan mencobai mobil mahal ini. “Saye perhatikan, orang-orang yang memakai kereta angin di sini selalu menyalakan lampu dan berjalan di sebelah kiri. Tak pernah melanggar garis batas itu, Cik.”

Aku menunjuk seorang ibu dengan sepeda motornya (mereka menyebutnya: kereta angin) berlalu berlawanan di bahu jalan sebelah kanan.

Cik Hasyim hanya tersenyum – sebenarnya dia memang murah senyum. “Memang peraturannya seperti itu, Pak Bahtiar. Kereta angin harus menyalakan lampu di siang hari dan berlalu di jalan itu.”

“Tetapi, bukankah di daerah dusun yang sepi seperti ini tidak ada polis, Cik?” kejarku. Memang tak banyak polisi (polis – Malaysia) yang berjaga sepanjang jalan yang kulalui.

“Ya, memang tak ada polis. Tapi kalau kami berlalu di tengah jalan kan itu artinya melanggar peraturan?”

Subhanallah. Sampai sebegitunya orang Perlis patuh pada peraturan lalu-lintas. Meski tak ada petugas. Meski mereka jumpalitan di tengah jalan sekalipun misalnya, mungkin tak akan ada polisi yang melihat. Mobil pun jarang melintas.

Tak heran makanya ketika hari pertama datang ke kota ini seorang teman dari Perlis mengatakan bahkan bila seorang wanita berjalan sendirian dengan mobilnya di malam hari di negeri ini Insya Allah aman sampai di tujuan. Tak akan ada yang mengganggu.

***

Surabaya akhir tahun lalu.

Polwiltabes Surabaya mewajibkan pengendara sepeda motor untuk menyalakan lampu kota di siang hari. Untuk mengurangi angka kecelakaan lalu-lintas, katanya.

Di beberapa ruas jalan besar juga sudah dibuat jalur khusus untuk sepeda motor. Mereka menyebutnya: proyek kanalisasi. Jalur khusus itu berupa batas dari tiang-tiang setinggi pinggang yang dihubungkan dengan tali dan memanjang selebar dua-tiga sepeda motor di bahu jalan. Setiap sepeda motor diwajibkan untuk berjalan di jalur khusus ini.

Tidak itu saja. Untuk membudayakan tertib lalu-lintas ini diadakanlah iklan ajakan besar-besaran di surat kabar dan berbagai radio. Bahkan ada undiannya segala. Setiap pengendara sepeda motor bisa mengambil dan mengisi kupon di beberapa check-point di sepanjang jalur khusus itu. Bahkan ada wartawan yang akan mengambil gambar seseorang yang tertib berlalu-lintas dan yang bersangkutan akan mendapatkan hadiah bila ia beruntung muncul di halaman belakang surat kabar edisi esok hari.

Maka begitulah. Setiap sepeda motor yang berlalu di kota Surabaya menyalakan lampu, berbondong-bondong berjalan di jalur yang telah disediakan, mengambil dan mengisi kupon di check-point, dan menunggu siapa tahu beruntung dapat hadiah pada akhir periode undian. Bapak-ibu Polisi dengan sukarela berdiri di jalan-jalan protokol dengan papan menggantung di dada bertuliskan “Nyalakan Lampu” dan menunjukkannya pada setiap pengendara yang lewat.

Tibalah saat undian. Seorang pengendara sepeda motor yang hanya memasukkan satu dua lembar kupon beruntung mendapatkan hadiah utama. Kalau tidak salah uang tunai 10 juta rupiah dari sponsor. Dan setelah itu, inilah yang kemudian terjadi. Check-point pun bubarlah sudah. Tak ada lagi undian karena tertib berlalu-lintas. Tiang-tiang kanal banyak yang putus tali penghubungnya, untuk kemudian merana. Bahkan satu per satu hilang dari tempatnya. Sepeda motor pun satu demi satu kembali ke tengah jalan. Bersalipan, berkejaran, dan berbalapan dengan mobil atau sesamanya.

Maka, kehidupan Surabaya di jalanan pun kembali seperti sedia kala.

***

Orang Perlis juga kelewatan sopan. Jika ada kendaraan yang mau berbelok kanan, maka Sang Pengemudi akan menunggu kendaraan lain yang berlalu dari arah depan sampai dengan hampir-hampir sepi. Barulah ia akan membelokkan kendaraannya dengan tenang.

Begitulah yang aku perhatikan adab orang Perlis berkendara di jalan.

Pagi itu kami rombongan dari Indonesia berangkat ke tempat Sijil Tuan Haji Ismail di daerah Jejawi. Pakai kendaraan Serena berbadan besar. Aku lagi-lagi pegang kemudi. Maklum, pengin mencoba mobil jenis baru.

Selepas lampu merah Mate Ayer mobil kubelokkan begitu saja ke kanan masuk gang tempat Sijil. Ada beberapa mobil dan sepeda motor yang akan melaju dari depanku mengerem mendadak. Mungkin mereka tak mengira ada mobil belok ke kanan tanpa menunggu mereka lewat lebih dulu.

“Heh! Ente main selonong saja!” seru temanku dari Tangerang. “Ini Perlis Tuan! Dudu Suroboyo, Rek*!”

Yah, bagaimana lagi. Sudah biasa seperti itu di Surabaya! Bahkan aku termasuk pengendara yang sopan di sana!

Mereka ramai-ramai tertawa-tawa senang. Aku sih, sejujurnya, demikian juga. Dasar!

***

Ketertiban, kedamaian, dan kemakmuran sebuah negeri, tentu tidak dibangun hanya dalam hitungan hari. Tidak juga bisa hanya dengan iming hadiah. Apalagi peraturan seumur jagung. Ia dibangun dari dasar. Mungkin dari hal-hal yang sangat kecil dan remeh-temeh. Jika mematuhi peraturan lalu-lintas saja tak bisa, bagaimana masyarakat bisa mematuhi hal-hal yang lebih besar?

Perlis punya buktinya. Aman dan damai. Nyaman. Tercermin pada hal-hal kecil semacam sikap sopan-santun mereka di jalan raya. Lebih dari itu, barangkali memang yang lebih dominan adalah aqidah (Islam) yang dijunjung tinggi dan dilaksanakan. Apa yang kemudian tampak di keseharian mereka merupakan cermin dari kuatnya aqidah itu.

Sungguh tepat benar jika Rasulullah mendasari Islam pertama kali di era Makkah adalah dengan aqidah yang kuat. Hingga Bilal hanya menyebut “Ahad! Ahad! Ahad!” ketika batu membara menghimpit tubuhnya di atas panas sahara. Sungguh benar jika Rasul menganjurkan mengumandangkan adzan dan iqamat di telinga kanan dan kiri bayi kita yang baru lahir. Bukankah indra pertama yang berfungsi begitu bayi lahir adalah pendengaran, baru penglihatan, dan hati? Bukankah adzan dan iqamat adalah kalimat-kalimat tauhid, dasar dari aqidah ini?

Surabaya, juga kota-kota lain, mungkin banyak muslimnya. Tetapi, dari perilaku mereka di keseharian, termasuk pada hal-hal yang sepele seperti berlalu-lintas, boleh jadi mencerminkan kualitas aqidah mereka. Jadi, jika lalu-lintas menjadi kacau-balau, untuk menertibkan masyarakat penggunanya tidak tepat jika hanya dengan iming hadiah. Yang lebih tepat barangkali: memperbaiki aqidah mereka.

Tentu saja, ini proyek dakwah jangka panjang. Tidak usah banyak cing-cong. Mari mulai dari diri sendiri masing-masing.

***

Ah, Malaysia!

Ketika mau melepas teman-teman Indonesia berangkat ke Perlis, sebagian dari kami ada yang nyeletuk. “Hati-hati ya di sana! Terutama bagi akhwat yang belum menikah!”

“Memang kenapa?” tanya mereka. Aku yakin wanita itu masih single. Aku belum kenal namanya.

“Pak Cik di sana isterinya banyak yang lebih dari satu! Apalagi jika tahu calon isterinya dari Indonesia.”

Olala, kurasa inilah konsekuensi aqidah yang kuat: mengikut sunnah!

(Wah! Aku mesti siap-siap hari ini makan malam sendirian ditemani nyamuk. Sssttt! Mudah-mudahan saja dia tidak membaca tulisan ini. He he he)

***

Bahtiar HS
http://bahtiarhs.multiply.com

Health Journal | Medical Equipment | Indonesian Cuisine | First Aid | Dialysis Machine | Ultrasound | Nursing Agency |

selamat atas kelahiran

Abu Hukma dan sekeluarga mengucapkan selamat atas kelahiran anggota keluarga baru bagi:
1. Saudara eko atas lahirnya Muhammad Zaki
2. Saudara Mono atas lahirnya seorang putra
3. Saudara Purnama atas lahirnya Fadli
4. Saudara Sulaeman atas lahirnya seorang putri

Mudah-mudahan menjadi anak-anak yang sholeh sholehah yang bisa menjadi investasi kebaikan bagi orang tua mereka didunia dan di akhirat

Wednesday, June 21, 2006

Health Journal | Medical Equipment | Indonesian Cuisine | First Aid | Dialysis Machine | Ultrasound | Nursing Agency |

Bercermin pada Kehidupan

Suatu hari, saya akan menghadiri sebuah majelis ta’lim yang terdiri dari ibu-ibu yang bertempat tinggal di daerah Jombang, Bintaro dan sekitarnya. Tak banyak anggotanya, sekitar sebelas orang. Awal bergabung dengan mereka, saya merasa agak jengah dan sedikit tidak nyaman. Maklumlah, pertama kalinya saya merasakan ‘bergaul’ dengan ibu-ibu muda berusia rata-rata sepuluh tahun lebih tua daripada saya. Sempat saya ingin pindah ke kelompok majelis ta’lim yang lain saja, bila ada. Tapi sampai sekarang, saya masih bertahan.

Hari itu, kegiatan akan diadakan di rumah salah seorang anggota, yang tidak begitu jauh dari rumah saya. Bahkan inilah rumah terdekat yang pernah saya datangi sejak pindah ke Bintaro. Biasanya bila akan menghadiri majelis ta’lim itu, saya harus naik angkot sampai dua kali. Lumayan jauh. Saya berangkat sekitar setengah jam sebelum acara dimulai. Saat itu saya sama sekali tidak tahu alamat pasti si empunya rumah, melainkan hanya mengandalkan arahan dari seorang teman saya saja. Yah, pastinya tidak jauh dari jalan masuk yang tadi ia sebutkan, pikir saya begitu. Dan sekitar lima menit kemudian, sampailah saya di jalan masuk tersebut. Tadinya saya berniat untuk naik ojek saja ke dalam. Tinggal sebutkan nama pemilik rumah dan ciri-ciri rumah, biasanya mereka tahu, begitu petunjuk berikutnya. Tapi sayangnya, tidak satu pun tukang ojek yang saya temui. Lantas saya putuskan untuk berjalan saja masuk ke dalam, siapa tahu ada pangkalan ojek lainnya atau ojek yang lewat. Saya tidak ingin terlambat, malu dong, masa rumah paling dekat malah terlambat.

Saya berjalan terus sampai kira-kira beberapa ratus kilometer. Kaki mulai pegal, dan saya belum menemukan petunjuk apapun yang mendekati ciri-ciri rumah itu. Saya berinisiatif menelpon seorang teman, dan komentarnya adalah: “Wah! Kalau jalan sih masih jauh! Masuk-masuk ke dalam, susah juga ngasih taunya. Mending kamu tanya sama orang di warung aja deh.” Begitu katanya. Saat saya menelpon itu, saya berada di depan sebuah masjid lumayan besar yang pastinya bisa jadi patokan. Dan saya pun lupa menanyakan nomor telepon si pemilik rumah. Ya sudahlah, pasti bisa sampai, begitu tekad saya. Saya bertanya ke sebuah warung, dan petunjuk yang diberikan adalah: “Dari jalan itu masuk aja ke dalam, belok kanan, nanti kalau ada warung tanya lagi aja. Rumahnya masih jauh banget!”

Begitulah, saya akhirnya berjalan saja dan setiap kali ada warung, saya bertanya, dan mereka memberikan informasi yang sama dengan orang terakhir yang saya tanya. Rupanya daerah tersebut belum memiliki nama-nama jalan. Rumah-rumah penduduknya pun jarang-jarang, dari rumah satu ke rumah yang lain berjarak beberapa meter. Padahal lokasi tersebut berdekatan dengan komplek perumahan yang lumayan besar. Jadi petunjuk yang paling praktis ya sebutkan saja nama si pemilik rumah. Dan itu yang saya lakukan berulang-ulang: “Rumahnya bu Yuli, guru SD Annisa, isterinya pak Muslim yang punya kandang kambing itu di mana ya?”

Ketika jalanan sudah hampir tak berujung, dan di sebelah kanan saya adalah tanah lapang yang besar sekali, di sebelah kiri hanya terdapat satu-dua rumah yang terkunci rapat, saya mulai khawatir tersasar. Tapi dari kejauhan saya melihat dua orang wanita berjalan. Mungkin penduduk setempat. Saya langsung berlari mengejar mereka.


Alhamdulillah…ternyata memang selalu ada petunjuk bila kita tak segan bertanya. Mereka mengantar saya sampai sekitar dua puluh meter dari rumah yang dicari. Saat itu saya tak memikirkan bagaimana cara pulang, yang tentu saja harus ditempuh dengan berjalan kaki juga. Saya sudah lupa rutenya. Sudahlah, nanti saja. Saya langsung menuju rumah besar bercat oranye.

“Assalamu’alaikum! Bu Yuli ada, bu?”
“Bu Yuli? Wah, dia jam segini belum pulang kerja!”

Saya nyaris pingsan mendengarnya. Seorang wanita setengah tua itu menatap saya dengan agak heran. Duh, sudah hampir nyasar begini, orangnya tidak ada? Lantas acara dipindahkan ke mana?

Tapi rupanya itu hanya kejutan kecil saja. Seorang laki-laki yang duduk bersama wanita itu beranjak dari kursi, dan tersenyum pada saya.

“Masuk aja lewat samping sini. Rumahnya menempel di belakang situ, Neng.” Katanya. Saya ragu sejenak. Tapi kemudian wanita tadi berseru, “Oh iya! Ini kan hari Sabtu ya? Berarti ada tuh orangnya!” katanya. Saya nyengir, lalu mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada keduanya.

Perjalanan panjang itu berakhir juga. Waktu menunjukkan pukul dua kurang sepuluh. Hampir satu setengah jam di perjalanan? Hebat juga kedua kaki saya ini. Saya duduk kelelahan. Dan satu per satu anggota majelis ta’lim itu mulai berdatangan, dua orang membawa anak-anak mereka. Mereka sampai dengan wajah yang hampir sama dengan saya, tetapi tidak ada satu pun yang berjalan kaki dari depan hingga sampai di situ. Kami semua tertawa-tawa kelelahan, mereka menertawakan saya yang dengan sangat mengenaskan musti menempuh jarak yang jauh dengan berjalan kaki. Lalu kami menyantap makanan kecil yang dihidangkan, dan mengobrol sebentar melepas lelah.

Hari itu semua hadir di majelis dengan penat. Saya bersiap untuk kecewa bila acara tidak berjalan atau datang hanya untuk bersantai. Tapi ternyata itu tidak terjadi. Acara dibuka dengan tertib, kami bergantian tilawah Quran, salah satu dari kami membacakan tafsir surat al-Lahab, lalu dilanjutkan dengan diskusi mengenai permasalahan majelis ta’lim lain yang ada di daerah tempat tinggal kami, seterusnya sampai waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Subhanallah. Saya nyaris tidak percaya bahwa kondisi-kondisi tak terduga, seperti kesulitan mencapai lokasi dan keterlambatan dimulainya acara, tidak menjadikan pertemuan yang hanya seminggu sekali itu menjadi tidak efektif. Jiwa saya kembali segar, penat saya hilang, dan saya siap bila harus pulang dengan berjalan kaki lagi.

Sudah sekitar lima bulan saya menjadi bagian dari mereka. Dan rupanya saya mulai merasakan ikatan hati yang cukup kuat pada mereka semua. Bahkan saya mengagumi mereka. Saya nyaris yang paling muda di antara mereka semua. Hampir semua sudah menikah, memiliki anak dua-tiga-atau empat orang, tapi mereka tetap konsisten hadir di pertemuan, mengerjakan tugas dengan lumayan tertib, bersemangat membahas permasalahan yang ada, dan saya tak segan untuk bercermin pada ketegaran mereka semua. Sedikitnya saya mengetahui permasalahan keluarga yang mereka hadapi, terhadap suami dan anak-anak, pekerjaan, dan lingkungan. Mereka mungkin tak semua berasal dari keluarga berkecukupan. Tapi semangat mereka untuk menghadiri majelis ta’lim rutin, juga semangat dan tindakan konkret berkontribusi dalam dakwah, itu semua menjadi bahan renungan yang tak habis-habis buat saya. Dan saya seringkali bertanya dalam hati, akankah saya tetap istiqomah seperti mereka sepuluh tahun dari sekarang? Semoga saja. Insyaallah. Amiin.

dh_devita at yahoo dot com
http://ayyasykecil.blogspot.com

Tuesday, June 20, 2006

Health Journal | Medical Equipment | Indonesian Cuisine | First Aid | Dialysis Machine | Ultrasound | Nursing Agency |

Berjamaah Membuang Waktu

Delapan belas tahun yang lalu ketika saya bersekolah di Sekolah Menengah Pertama, saya adalah pecandu bola. Hampir tiap malam jika ada kompetisi antar klub saya akan dengan setia menonton. Pada saat itu tabloid yang menyajikan khusus tentang berita olah raga hanya ada satu. Setelah menonton, saya tidak akan melewati untuk membaca artikel yang berkaitan dengan pertandingan bola tersebut. Tak urung, dahulu saya bisa dengan hafal menyebutkan pemain mana yang ditransfer paling mahal dan siapa saja yang berpotensi untuk ditransfer lebih mahal lagi. Van Basten, David Platt, Gullit, Paul Gascoigne adalah sebagian nama pemain besar yang dulu saya simpan gambarnya pada buku pelajaran sekolah. Saya suka menonton pertandingan olahraga lainnya, semisal tennis atau bulutangkis. Namun, jika pertandingan piala dunia digelar, maka otomatis saluran televisi akan terfokus pada acara tersebut. Dan ini membuat kegilaan akan menonton bola semakin menjadi.

Setelah saya menikah, berangsur–angsur kegemaran saya akan tayangan ini perlahan berkurang. Dan entah sejak kapan pastinya, kemudian kegemaran saya tersebut betul-betul hilang. Sekarang, pada saat pergelaran pertandingan akbar sedang semaraknya dan menjadi candu di mana-mana, saya hanya menonton beberapa saat untuk kemudian tidak menggubrisnya sama sekali. Candu itu tengah menyerang suami saya sendiri. Walau dia menonton dengan gaya yang kalem dan tidak teriak–teriak, saya melihat dia begitu serius menonton setiap pertandingan. Candu itu telah meracuninya. Ketika dia masih menonton, saya memilih untuk membaca dan kemudian tertidur. Pada pukul empat pagi saya bangun, saya kaget menyaksikan dia masih berada didepan televisi. Apalagi yang dilihat kalau bukan tayangan orang – orang yang berlarian kesana kemari untuk memperebutkan sebuah bola…
Saya agak jengkel, sepagi ini masih menekuni layar kaca?

Kemudian, suami saya terbangun pada pukul 5:15, saya juga tidak mengerti bagaimana dia bisa tertidur kembali tanpa menunggu waktu sholat subuh? Dengan menahan kesal saya membangunkannya.
Saya tidak tahan untuk segera membuka percakapan mengenai jam nonton yang berlebihan dan sholat yang kesiangan tersebut.
“Gimana yah, sholat kok hampir setengah enam, sedangkan untuk nonton ayah bela–belain sampai jam 4 pagi”. Saya memang terbiasa untuk bicara dengan spontan, saya enggan menunda pembicaraan sampai menunggu pulang kerja nanti.
“Gini de, aku tuh jam 12 sebenarnya sudah tidur. Kemudian aku terbangun lagi, dan ternyata tayangan bola masih ada. Trus aku nonton lagi. Udah gitu, aku ngantuk banget terus ketiduran”.
Dia menjelaskan dengan nada hati – hati. Dia bisa membaca gelagat ketidaksukaan dari saya.
“Duh, Ayah, bagaimana ya kita kok jadi orang yang menyia – nyiakan waktu, lebih mementingkan nonton bola daripada sholat. Mata kita lebih tahan menahan kantuk ketika menoton bola, tapi tidak tahan ketika harus sholat malam. "Gimana ya Yah, aku kok merasa sedih..” Saya berbicara dengan perlahan, mencoba mengatur nada dan belajar untuk mengekspresikan kekecewaan saya dengan baik. Ya, saat itu saya kecewa terhadap suami saya dan dengan diri saya sendiri. Alhamdulillah, suami saya cukup tanggap dan mengerti. Tanpa banyak hambatan, kami sepakat untuk menata kembali.

Kemudian, pagi ini kami meneruskan perbincangan pada rencana–rencana kami ke depan. Ya, lebih baik memikirkan rencana–rencana besar dalam rumah tangga ketimbang menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak bermanfaat. Kami mencapai kesepakatan untuk tidak terhanyut dalam tayangan yang telah mencuri waktu dan fisik kami. Masih banyak pekerjaan dan tugas besar menanti. Katanya kita ingin bermanfaat untuk sebanyak–banyaknya umat, katanya kita tengah ingin memperbaiki diri, katanya kita tengah ingin menjadi pegawai yang produktif, katanya kita ingin terus menerus belajar memperbaiki diri. Mungkin ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk memperbaiki diri dalam hal memenej waktu. Ketika godaan untuk menghabiskan waktu dengan cara berjamaah tersebut menjadi hal biasa yang tak terhindarkan, inilah saatnya kita dengan berani menata diri agar tetap memegang komitmen untuk tidak mengabaikan waktu. Ketika saat ini menonton bola menjadi trend yang tak terhindarkan, dan malah seolah menjadi gaya hidup dan ciri intelektualitas seseorang, maka inilah saatnya kita dengan berani menegaskan diri bahwa kita bukan bagian dari generasi yang cinta terhadap kesenangan yang semu.

Di tengah keasyikan kita menonton, bisakah kita membayangkan awan panas dari gunung merapi yang terus menerus menutupi langit? Bisakah kita membayangkan Lumpur panas yang membanjiri Sidoarjo? Bisakah kita membayangkan gempa yang tiba–tiba datang tanpa permisi? Kita tidak tengah berandai–andai, sebagian daerah masih dalam kedukaan dan nestapa yang memilukan. Sebagian besar masih butuh pertolongan yang tidak sedikit. Beranikah kita untuk meninggalkan segala kesia–siaan itu? Mari kita ganti dengan membaca yang bermanfaat, mari kita isi dengan mendengarkan tausiyah, mari kita isi dengan mengerjakan tugas–tugas yang masih terbengkalai. Semoga proses pembelajaran kita sekarang tentang penghargaan akan sebuah waktu, bisa menghasilkan kita dan generasi kita menjadi muslim yang bemutu.

Nenda_2001@yahoo.co

Sunday, June 18, 2006

Health Journal | Medical Equipment | Indonesian Cuisine | First Aid | Dialysis Machine | Ultrasound | Nursing Agency |

new pictures




Saturday, June 17, 2006

Health Journal | Medical Equipment | Indonesian Cuisine | First Aid | Dialysis Machine | Ultrasound | Nursing Agency |

picture





Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang maha pemurah, Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Ketahuilah! Sesungguhnya manusia manusia benar benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu). Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang. Seorang hamba ketika dia mengajarkan shalat,bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada diatas kebenaran, atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)?Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya? Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun yang mendustakan lagi durhaka. Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), Kelak kami akan memanggil malaikat Zabaniyah, sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya;dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)

Quran Surat Al 'AlAQ

Friday, June 16, 2006

Health Journal | Medical Equipment | Indonesian Cuisine | First Aid | Dialysis Machine | Ultrasound | Nursing Agency |

TADZKIROH DEWAN SYARIAH PUSAT

TADZKIROH DEWAN SYARIAH PUSAT

PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

NOMOR: 04/TK/K/DSP-PKS/V/1427


TENTANG


MUSIBAH YOGYAKARTA DAN JAWA TENGAH


Musibah kembali menimpa saudara kita di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Pada saat penduduk sedang bersiaga menghadapi musibah gunung Merapi. Dalam hitungan menit, musibah gempa tektonik yang tidak diduga ini menelan lebih dari enam ribu korban jiwa meninggal, puluhan ribu korban luka-luka dan merusak infrastruktur di dua propinsi tersebut. Harta benda yang telah dikumpulkan berpuluh tahun lenyap seketika. Tetesan air mata, tangisan orang yang ditinggal keluarga, kebingungan, kelaparan, dan kesakitan bersatu padu mengiringi musibah ini. Subhanallah !Betapa lemah dan tidak berdayanya manusia dihadapan kekuasaan Allah Ta'ala.


Musibah dan ujian itu adalah kehendak dan kepastian Allah yang akan ditimpakan kepada hamba-Nya di dunia. Karena dunia memang tempat ujian dan cobaan. Dan ucapan yang paling baik jika kita tertimpa cobaan dan musibah adalah; Inna Lillahi wa Inna ilaihi Raaji'uun. Bahwa kita milik Allah dan akan kembali menghadap Allah. Dibalik musibah ini pasti banyak terdapat hikmah yang Allah Ta'ala berikan kepada umat manusia, baik yang ditimpa musibah maupun yang tidak.


Musibah yang menimpa manusia harus disikapi dengan benar, tidak boleh berburuk sangka kepada Allah. Bahwa Allah Ta'ala Maha Lembut terhadap hamba-Nya, dengan kelembutannya Allah memberikan peringatan bagi manusia yang lalai agar tidak berbuat maksiat dan mensekutukan-Nya. Ujian bagi orang-orang yang beriman untuk bersabar dari setiap musibah yang menimpanya dan hukuman bagi orang-orang bermaksiat dan ingkar kepada Allah.


Saudaraku kaum muslimin…..

Sebagai orang beriman, marilah kita melihat musibah ini dari tiga dimensi: dimensi keimanan, dimensi keilmuan dan dimensi kemanusiaan. Dimensi keimanan mengajak kita untuk merenung, mempelajari dan menangkap hikmah dari tanda-tanda zaman ini. Kemudian kita bermuhasabah, mendekatkan diri kepada Allah dan bertaubat dari segala kesalahan dan dosa yang kita lakukan. Dimensi keilmuan mengharuskan kita untuk mengantisipasi sebab-sebab gempa dan bencana alam lainnya kemudian berikhtiar secara ilmiyah untuk mengurangi korban baik jiwa maupun harta. Dimensi kemanusiaan memanggil kita untuk peduli, tanggap dan cepat membantu saudara kita dengan segala daya dan potensi yang Allah berikan kepada kita. Dengan energi keimanan, keilmuan dan kemanusiaan yang Allah berikan kepada kita, insya Allah kita mampu mengatasi musibah ini.


Saudaraku umat Islam dan bangsa Indonesia….

Marilah kita membuka mata hati kita, belajar dan bermuhasabah:
1.Dalam sekejap mahluk-mahluk yang bernyawa menemui ajalnya. Ribuan manusia meninggal dalam musibah Yogya dan kota lainnya di Jawa Tengah. Bukankah ini bukti yang kuat dari Allah Ta'ala bahwa kematian itu pasti. Kematian akan mendatangi setiap manusia, baik secara sendiri, maupun jama'ah. Kematian akan datang setiap saat, baik siang maupun malam, waktu pagi, sore atau yang lainnya. Jadi kita harus selalu siap siaga menghadapi kematian yang pasti itu.

"Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; Maka apabila Telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya" (QS Al-A'raaf 34).

2.Kita bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenarnya. Taubat dari keyakinan yang salah, kewajiban yang ditinggalkan dan kemaksiatan yang dilanggar. Musibah gempa dan lainnya bukanlah karena kemarahan Nyi Loro Kidul atau kurangnya sesajen dll. Karena syetan dan jin itu tidak memiliki kekuasaan dan kekuataan. Musibah ini adalah semata bagian dari kekuasaan Allah untuk mengingatkan hamba-Nya agar mereka bertaubat dan kembali pada Allah.

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".

3.Musibah ini harus menyadarkan kita, bahwa kita ini milik Allah dan akan kembali kepada Allah, kita tidak berdaya, tidak memiliki kekuatan kecuali dari Allah. Kita sangat membutuhkan Allah, kita sangat lemah dan kita ini hamba Allah yang harus tunduk patuh pada-Nya. Mayoritas infrastruktur kehidupan hancur. Rumah, masjid, pasar dan aktivitas ekonomi, sekolah dan aktifitas pendidikan, kantor-kantor pemerintah dan aktifitas birokrasi dan pelayanan publik tidak berjalan. Yogya yang disebut Daerah Istimewa itu lumpuh dan kembali ke titik nol.

"Hai manusia, kamulah yang butuh kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji" (QS Faathir 15).

4.Musibah ini adalah bagian dari ujian Allah Ta'ala kepada hamba-Nya orang-orang beriman. Musibah itu bagian dari sifat Rahman dan Rahiim-Nya, agar Allah meningkatkan kualitas orang-orang beriman dan menghapuskan dosa mereka. Allah tidak punya kepentingan untuk menyiksa hamba-Nya, bahkan rahmat Allah mendahului murka-Nya.

"Sesungguhnya besarnya balasan sesuai besarnya ujian. Dan Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, maka mereka diuji. Siapa yang ridha, maka Allah juga ridha, dan siapa yang benci, maka Allah juga benci"(HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah )

5.Selagi kita masih hidup, maka kita masih mempunyai harapan, mempunyai kesempatan untuk kembali, bertaubat dan bangkit menghadapi musibah ini dengan keimanan dan kerja keras. Mari kita manfaatkan sisa-sisa hidup ini untuk beramal shalih dan memberikan yang terbaik untuk diri, keluarga dan masyarakat kita sehingga akan berdampak pada kebahagiaan hidup kita di dunia dan akhirat.

"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik" (QS Al-ankabuut 69).


6.Kepada seluruh umat Islam dan bangsa Indonesia, marilah kita jadikan musibah ini sebagai sarana muhasabah (evaluasi), pendekatan diri kita kepada Allah dengan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah, kemudian kita bersyukur atas segala ni'mat Allah tersebut dan tidak mengkufurinya dengan kemaksiatan yang kita lakukan.

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik" (QS Al-Hasyr 18-19).


7.Kepada seluruh umat Islam dan bangsa Indonesia, kewajiban dalam menangani korban musibah ada pada pundak kita semua. Marilah kita bekerjasama untuk menanggulanginnya secara cepat dan menyeluruh. Merawat, memberi makanan dan minuman, menyediakan air bersih, memberikan tempat penampungan, menyelenggarakan jenazah secara Islami bagi korban meninggal, serta merehabilitasi mental, fisik dan sarana mereka secara baik dan cepat.

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya" (QS Al-Maa-idah2).

8.Kepada seluruh relawan dan tim penanggulangan musibah Yogya dan Jawa Tengah, baik pemerintah maupun masyarakat, marilah kita ikhlaskan niat kita, bahwa upaya ini semata-mata amal shalih dan ibadah kepada Allah SWT. bukan untuk meraih popularitas, kepentingan politik dan pujian manusia.

"….. padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus" (QS Al-Bayyinah 5).


Akhirnya, semoga Allah menerima segala amal shalih dan ibadah kita, menghapuskan segala dosa dan kesalahan kita dan melindungi kita dari musibah terbesar, yaitu musibah dalam urusan agama, musibah siksa api neraka. Amien


"Sesungguhnya kita datang dari Allah dan akan kembali kepadaNYA. Cukuplah Allah bagi kita. Dia-lah sebaik-baiknya sandaran, pelindung dan penolong.

Kami bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah"



Jakarta, 3 Jumadil Ula 1427 H

31 Mei 2006 M



DEWAN SYARIAH PUSAT

PARTAI KEADILAN SEJAHTERA





DR. H. SURAHMAN HIDAYAT, MA

KETUA

Thursday, June 15, 2006

Health Journal | Medical Equipment | Indonesian Cuisine | First Aid | Dialysis Machine | Ultrasound | Nursing Agency |

Menikah Membuatku Jadi Kaya

Oleh Azimah Rahayu
13 Jun 06 06:59 WIB

Pada hari-hari pertama pernikahan kami, suami bertanya, “Ke mana saja uangmu selama ini?” Pertanyaan itu sungguh menggedor dadaku. Ya, ke mana saja uangku selama ini? Buku tabunganku tak pernah berisi angka belasan hingga puluhan juta. Selalu hanya satu digit. Itu pun biasanya selalu habis lagi untuk kepentingan yang agak besar seperti untuk bayar kuliah (ketika aku kuliah) dan untuk kepentingan keluarga besarku di kampung. Padahal, kalau dihitung-hitung, gajiku tidaklah terlalu kecil-kecil amat. Belum lagi pendapatan lain-lain yang kudapat sebagai penulis, instruktur pelatihan menulis, pembicara di berbagai acara, guru privat, honor anggota tim audit ataupun tim studi. Lalu, ke mana saja uangku selama ini? Kepada suamiku, waktu itu aku membeberkan bahwa biaya operasional untuk keaktifanku cukup besar. Ongkos jalan, pulsa telepon, nombok biaya kegiatan, makan dan traktiran. Intinya, aku mencari apologi atas aliran uangku yang tidak jelas.

Namun diam-diam aku malu padanya. Sesaat sebelum pernikahan kami, dia berkata, “Gajiku jauh di bawah gajimu...”. Kata-kata suamiku -ketika masih calon- itu membuatku terperangah. “Yang benar saja?” sambutku heran. Dengan panjang kali lebar kemudian dia menjelaskan kondisi perusahaan plat merah tempatnya bekerja serta bagaimana tingkat numerasinya. Yang membuatku lebih malu lagi adalah karena dengan gajinya yang kecil itu, setelah empat tahun hidup di Jakarta, ia telah mampu membeli sebuah sepeda motor baru dan sebuah rumah –walaupun bertipe RSS- di dalam kota Jakarta. Padahal, ia tidak memiliki sumber penghasilan lain, dan dikantornya dikenal sebagai seorang yang bersih, bahkan “tak kenal kompromi untuk urusan uang tak jelas.” Fakta bahwa gajinya kecil membuatku tahu bahwa suamiku adalah seorang yang hemat dan pandai mengatur penghasilan. Sedang aku?

***

Hari-hari pertama kami pindahan.
Aku menata baju-baju kami di lemari. “Mana lagi baju, Mas?” tanyaku pada suami yang tengah berbenah. “Udah, itu aja!” Aku mengernyit. “Itu aja? Katanya kemarin baju Mas banyak?” tanyaku lebih lanjut. “Iya, banyak kan?” tegasnya lagi tanpa menoleh. Aku kemudian menghitung dengan suara keras. Tiga kemeja lengan pendek, satu baju koko, satu celana panjang baru, tiga pasang baju seragam. Itu untuk baju yang dipakai keluar rumah. Sedang untuk baju rumah, tiga potong kaos oblong dengan gambar sablon sebuah pesantren, dua celana pendek sedengkul dan tiga pasang pakaian dalam. Ketika kuletakkan dalam lemari, semua itu tak sampai memenuhi satu sisi pintu sebuah lemari. Namun dua lemari besar itu penuh. Itu artinya pakaianku lebih dari tiga kali lipat lebih banyak dibanding jumlah baju suamiku. Kata orang, kaum wanita biasanya memang memiliki baju lebih banyak dibanding kaum laki-laki. Tapi isi lemari baju itu memberikan jawaban atas banyak hal padaku. Terutama, pertanyaannya di hari-hari pertama pernikahan kami tentang ke mana saja uangku. Isi lemari itu memberi petunjuk bahwa selain untuk keluarga dan organisasi, ternyata aku menghabiskan cukup banyak uang untuk belanja pakaian. Oo!

Pekan-pekan pertama aku hidup bersamanya.
Aku mencoba mencatat semua pengeluaran kami. Dan aku sudah mulai memasak untuk makan sehari-hari. Cukup pusing memang. Apalagi jika melihat harga-harga yang terus melonjak. Tapi coba lihat...! Untuk makan seminggu, pengeluaran belanjaku tak pernah lebih dari seratus ribu. Padahal menu makanan kami tidaklah terlalu sederhana: dalam seminggu selalu terselip ikan, daging atau ayam meski tidak tiap hari. Buah–makanan -kesukaanku- dan susu –minuman favorit suamiku- selalu tersedia di kulkas. Itu artinya, dalam sebulan kami berdua hanya menghabiskan kurang dari lima ratus ribu untuk makan dan belanja bulanan. Aku jadi berhitung, berapa besar uang yang kuhabiskan untuk makan ketika melajang? Aku tak ingat, karena dulu aku tak pernah mencatat pengeluaranku dan aku tidak memasak. Tapi yang pasti, makan siang dan malamku rata-rata seharga sepuluh hingga belasan ribu. Belum lagi jika aku jalan-jalan atau makan di luar bersama teman. Bisa dipastikan puluhan ribu melayang. Itu artinya, dulu aku menghabiskan lebih dari 500ribu sebulan hanya untuk makan? Ups!

Baru sebulan menikah.
“De, kulihat pembelian pulsamu cukup banyak? Bisa lebih diatur lagi?”
“Mas, untuk pulsa, sepertinya aku tidak bisa menekan. Karena itu adalah saranaku mengerjakan amanah di organisasi.” Si mas pun mengangguk. Tapi ternyata, kuhitung dalam sebulan ini, pengeluaran pulsaku hanya 300 ribu, itu pun sudah termasuk pulsa untuk hp si Mas, lumayan berkurang dibanding dulu yang nyaris selalu di atas 500 ribu rupiah.

Masih bulan awal perkawinan kami.
Seminggu pertama, aku diantar jemput untuk berangkat ke kantor. Tapi berikutnya, untuk berangkat aku nebeng motor suamiku hingga ke jalan raya dan meneruskan perjalanan dengan angkutan umum sekali jalan. Dua ribu rupiah saja. Pulangnya, aku naik angkutan umum. Dua kali, masing-masing dua ribu rupiah. Sebelum menikah, tempat tinggalku hanya berjarak tiga kiloan dari kantor. Bisa ditempuh dengan sekali naik angkot plus jalan kaki lima belas menit. Ongkosnya dua ribu rupiah saja sekali jalan. Tapi dulu aku malas jalan kaki. Kuingat-ingat, karena waktu mepet, aku sering naik bajaj. Sekali naik enam ribu rupiah. Kadang-kadang aku naik dua kali angkot, tujuh ribu rupiah pulang pergi. Hei, besar juga ya ternyata ongkos jalanku dulu? Belum lagi jika hari Sabtu Ahad. Kegiatanku yang banyak membuat pengeluaran ongkos dan makan Sabtu Ahadku berlipat.

Belum lagi tiga bulan menikah.
“Ke ITC, yuk, Mas?” Kataku suatu hari. Sejak menikah, rasanya aku belum lagi menginjak ITC, mall, dan sejenisnya. Paling pasar tradisional. “Oke, tapi buat daftar belanja, ya?” kata Masku. Aku mengangguk. Di ITC, aku melihat ke sana ke mari. Dan tiap kali melihat yang menarik, aku berhenti. Tapi si Mas selalu langsung menarik tanganku dan berkata,”Kita selesaikan yang ada dalam daftar dulu?” Aku mengangguk malu. Dan aku kembali teringat, dulu nyaris setiap ada kesempatan atau pas lewat, aku mampir ke ITC, mall dan sejenisnya. Sekalipun tanpa rencana, pasti ada sesuatu yang kubeli. Berapa ya dulu kuhabiskan untuk belanja tak terduga itu?

Masih tiga bulan pernikahan “Kita beli oleh-oleh sebentar ya, untuk Bude?” Masku meminggirkan motor. Kios-kios buah berjejer di pinggir jalan. Kami dalam perjalanan silaturahmi ke rumah salah satu kerabat. Dan membawakan oleh-oleh adalah bagian dari tradisi itu.
“Sekalian, Mas. Ambil uang ke ATM itu...” Aku ingat, tadi pagi seorang tetangga ke rumah untuk meminjam uang. Ini adalah kesekian kali, ada tetangga meminjam kepada kami dengan berbagai alasan. Dan selama masih ada si Mas selalu mengizinkanku untuk memberi pinzaman(meski tidak langsung saat itu juga). Semua itu membuatku tahu, meskipun hemat, si Mas tidaklah pelit. Bersikaplah pertengahan, begitu katanya. Jangan menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas, tapi jangan lantas menjadi pelit!

***

Semester pertama pernikahan.
Mengkilat. Elegan. Kokoh. Masih baru. Gress. Begitu sedap dipandang mata. Benda itu, sudah sekian lama kuinginkan. Sebuah laptop baru kelas menengah (meski masih termasuk kategori low end). Namun selama ini, setiap kali melihatnya di pameran atau di toko-toko komputer, aku hanya bisa memandanginya dan bermimpi. Tak pernah berani merencanakan, mengingat duitku yang tak pernah cukup. Tapi rasanya, dalam waktu dekat benda di etalase itu akan kumiliki. Rasanya sungguh indah, memiliki sebuah benda berharga yang kubeli dengan uangku sendiri, uang yang kukumpulkan dari gajiku.

Sejak menikah, aku tak pernah lagi membeli baju untuk diriku sendiri. Pakaian dan jilbabku masih dapat di-rolling untuk sebulan. Sejak menikah, aku memilih membawa makan siang dari rumah ke kantor. Aku juga jarang ke mall lagi. Dan kini, setiap kali akan membeli sesuatu, aku selalu bertanya: perlukah aku membeli barang itu? Indahnya, aku menikmati semua itu. Dan kini, aku bisa menggunakan tabunganku untuk sesuatu yang lebih berharga dan tentu saja bermanfaat bagi aktifitasku saat ini, lingkunganku dan masa depanku nanti.

Aku bersyukur kepada Allah. Semua ini, bisa dikatakan sebagai berkah pernikahan. Bukan berkah yang datang tiba-tiba begitu saja dari langit. Tapi berkah yang dikaruniakan Allah melalui pelajaran berhemat yang dicontohkan oleh suamiku. Rabb, terima kasih atas berkahMu...

@Azimah, 070606

Tuesday, June 13, 2006

Health Journal | Medical Equipment | Indonesian Cuisine | First Aid | Dialysis Machine | Ultrasound | Nursing Agency |

Peluang beasiswa di pusat pendidikan bahasa arab universitas kuwait

PEMBERITAHUAN

Diberitahukan kepada seluruh masyarakat indonesia di Kuwait bahwa pusat pendidikan Bahasa Arab Universitas Kuwait telah membuka kesempatan kepada masyarakat Indonesia dengan memberikan 3 (tiga) buah kursi beasiswa bagi para calon mahasiswa yang berminat belajar bahasa arab untuk tahun ajaran 2006-2007.



SYARAT-SYARAT PENGAJUAN APLIKASI BEASISWA PUSAT BAHASA UNIVERSITAS KUWAIT

1. Mengisi formulir aplikasi Pusat Bahasa Universitas Kuwait
2. Foto copy paspor calon mahasiswa
3. Terjemahan Arab Ijazah SMA & Rapor
(dilampirkan dengan Ijazah SMA & Rapor)
4. Terjemahan Arab foto copy ijazah s1 (apabila ada & dengan lampiran ijazah legalisir)
5. Pernyataan calon mahasiswa tentang alasan keinginannya belajar di Pusat Bahasa Universitas Kuwait
6. Dua buah surat rekomendasi dari dosen/ guru tempat calon mahasiswa belajar saat ini
7. Dua buah foto berwarna ukuran 3x4
8. Membuat pernyataan untuk tidak mengundurkan diri selama masa study berlangsung
9. Diharuskan bagi pengaju permohonan aplikasi untuk memperhatikan prestasi belajar
dan kedisiplinan calon mahasiswa selama masa study berlangsung

KBRI KUWAIT

untuk informasi lebih detail: hubungi bapak Herman Setiawan, staff fungsi Pensosbud KBRI dan Bapak Deni Lesmana Home 965 5358234, mobile 965 6143626,

Catatan: Aplikasi paling lambat sampai tanggal 30 Juni 2006

Monday, June 12, 2006

Health Journal | Medical Equipment | Indonesian Cuisine | First Aid | Dialysis Machine | Ultrasound | Nursing Agency |

Islam Denounces Terrorism

God commands justice and doing good and giving to relatives. And He forbids indecency and doing wrong and tyranny. He warns you so that hopefully you will pay heed. (Qur'an, 16:90)


As Muslims, we strongly condemn the terrorist attacks on two major cities of the United States of America on September 11, 2001, which caused the death and injury of thousands of innocent people, and we offer our condolences to the American nation. These attacks propelled the important issue of the true source of terrorism to the top of the world agenda. Thus, it has been announced to the entire world that Islam is a religion of peace and tolerance that summons individuals to compassion and justice. Many world leaders, leading media organisations, television and radio stations said that true Islam forbids violence, and encourages peace between people and between nations. The Western circles that have come to a full grasp of the religion of Islam and are well-informed about Islam as commanded by God in the Qur'an noted clearly that the words "Islam" and "terror" cannot stand side by side, and that no divine religion permits violence.

This book maintains that the source of the terror that we condemn is definitely not from a divine religion, and that there is no room for terrorism in Islam. This is made clear in the Qur'an, the main source of Islam, and in the practices of all true Muslim rulers, the Prophet Muhammad being the foremost of them. This book reveals, in the light of the verses of the Qur'an and with examples from history, that Islam forbids terrorism and aims to bring peace and security to the world.

As is known, for centuries, various acts of terrorism have been carried out in different parts of the world by different groups for a variety of purposes. Sometimes a communist organisation, sometimes a fascist group, and sometimes radical and separatist factions assume responsibility for these acts. While countries like America often became the target of attacks by racist and marginal terrorist groups, the European countries have been centre stage for violent acts carried out by terrorist groups. 17 November in Greece, RAF (Red Army Faction) and Neo-Nazis in Germany, ETA in Spain, Red Brigades in Italy and many other organisations seek to make their voices heard through terror and violence by killing innocent and defenceless people. The nature of terrorism changes with changing world conditions and increases its impact and power with the new means made possible by developing technology. In particular, mass communication tools such as the Internet extend the scope and influence of the terrorist activities considerably.

Besides the Western organisations, there are also other terror organisations of Middle East origin. Terrorist attacks are carried out by these groups in all corners of the world. Sadly, the fact that the perpetrators of various terrorist acts carry Christian, Muslim or Jewish identities cause some people to put forward claims which do not concur with divine religions. The truth is that even if terrorists have Muslim identities, the terror they perpetrate cannot be labelled "Islamic terror", just as it could not be called "Jewish terror" if the perpetrators were Jews or "Christian terror" if they were Christians. That is because, as will be examined in the following pages, murdering innocent people in the name of a divine religion is unacceptable. We need to keep in mind that, among those who were killed in New York and Washington, there were people who loved the Prophet Jesus (Christians), the Prophet Moses (Jews) and the Prophet Muhammad (Muslims). Unless forgiven by God, murdering innocent people is a great sin that leads to torment in Hell. No one who is religious and fears God would do such a thing.

The aggressors can commit such violence only with the intention of attacking religion itself. It may well be that those who carried out this violence did so to present religion as evil in the eyes of people, to divorce people from religion and to generate hatred towards those who are religiously inclined. Consequently, every attack on American citizens or other innocent people having a religious facade is actually an attack made against religion.


Religion commands love, mercy and peace. Terror, on the other hand, is the opposite of religion; it is cruel, merciless and demands bloodshed and misery. This being the case, the origins of a terrorist act should be sought in disbelief rather than in religion. People with a fascist, communist, racist or materialist outlook on life should be suspected as potential perpetrators. The name or the identity of the triggerman is not important. If he can kill innocent people without blinking an eye, then he is a nonbeliever, not a believer. He is a murderer with no fear of God, whose main ambition is to shed blood and to cause harm. For this reason, "Islamic terror" is an erroneous concept which contradicts the message of Islam. The religion of Islam can by no means countenance terrorism. On the contrary, terror (i.e. murder of innocent people) in Islam is a great sin, and Muslims are responsible for preventing these acts and bringing peace and justice to the world.

Sunday, June 11, 2006

Health Journal | Medical Equipment | Indonesian Cuisine | First Aid | Dialysis Machine | Ultrasound | Nursing Agency |

Tujuh sahid di Ghaza pukulan bagi Israel

Oleh Sandi Effendi, sumber Arab Times, sunday june 11, 2006

Jerusalem, 10 Juni, (AFP):Pembantain 7 warga sipil palestin di tempat picnic tepi pantai Gaza merupakan pukulan bagi pemerintah Israel di saat Kunjungan perdana menteri Israel Ehud Olmert ke Eropa.
Kunjungannya ke Inggris dan Francis dalam rangka rencananya meyakinkan pemimpin Eropa membuat batas tegas dengan Palestina tanpa kesepakatan dengan pemerintah otonomi Palestina.
Kejadian pembantaian ini membuat citra buruk Israel di sela kunjungan ke Inggris dan Francis, Kata Isaac Herzog, anggota Partai buruh.Tujuh korban yang termasuk 3 anak kecil dan orang tua mereka, meninggal akibat ledakan bom jumat sore tatkala mereka menikmati liburan di tepi pantai.
Televisi menayangkan cuplikan berita yang mengenaskan, tangisan anak-anak luka akibat serangan roket Israel yang segera dilarikan ke rumah sakit, dan seorang gadis kecil menangis di dekat mayat ayahnya, Masyarakat Internasional berduka cita atas serangan ini.
Mesir dan jordania, 2 negara arab yang mempunyai hubungan dengan pemerintah Israel, menyatakan kejadian ini sesuatu yang tidak bisa diterima, ketidak setujuan juga di sampaikan oleh pemerintahan Russia.
Analyst bilang penyerangan jumat terhadap warga sipil membuat kerja ehud Olmert semakin berat untuk menawarkan rencananya ke negara Eropa.
Kejadian ini sangat menyulitkan bagi ISrael, dan Olmert akan mendapatkan kesulitan bernegosiasi di Eropa, yang Sampai sekarang ISrael berdalih hanya memberi perlindungan terhadap warganya dari serangan pejuang Palestina dan Tentara mereka tidak bertujuan untuk membunuh rakyat sipil Palesstina, kata Yossi Alpher, seorang analis politik Israel..

Health Journal | Medical Equipment | Indonesian Cuisine | First Aid | Dialysis Machine | Ultrasound | Nursing Agency |

Di Usia Tiga Puluhan

Oleh Ummu Nabilah

Suatu hari di sebuah acara, saya bertemu dengan seorang teman lama. Ia tampak tujuh tahun lebih muda dari usianya. Kami saling menanyakan kabar setelah lebih dari sepuluh tahun tak jumpa. Kini, ia masih sendiri di usianya yang tiga puluh empat tahun.

Ia tidak sendiri. Banyak di tengah-tengah kita para wanita yang juga masih melajang di usianya yang sudah kepala tiga. Malah, tidak sedikit dari mereka sudah berusia lebih dari tiga puluh lima tahun. Entah apa penyebabnya hingga mereka belum menemukan pasangan hidup di usia mereka yang sudah cukup matang. Itu semua adalah rahasia Allah. Hanya yang saya ketahui, mereka yang saya kenal adalah wanita baik-baik. wanita yang layak untuk dicintai, menjadi isteri dan seorang ibu.

Pernah terbersit dalam pikiran saya, seandainya saya seorang laki-laki dan boleh memilih isteri sesuka hati, maka pilihan saya akan jatuh pada salah satu dari mereka. Sebut saja namanya (bukan nama sebenarnya) Aisyah. Ia seorang yang berwajah relatif manis, pintar, baik hati, lembut, dermawan, suka berkorban untuk orang lain, pendeknya berbagai kelebihan melekat padanya. Iapun seorang yang biasa-biasa saja, bukan tipe orang yang menetapkan standar tinggi untuk pasangan hidupnya.

Maka apalagi jalan yang menghalanginya untuk segera menemukan sang jodoh? Jawabnya adalah bahwa semua itu belum dikehendaki-Nya. Sebagai orang beriman, tentu kita harus bisa mencari hikmah di balik keputusan Yang Mahakuasa ini. Allah menjelaskan, ”…boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah:216).

Namun, tak mudah menjalani kehidupan ini seorang diri. Tuntutan keluarga untuk segera menikah yang tak hanya satu dua kali terdengar kerap membuat hati kian merana. Kondisi ini diperparah lagi dengan pola pikir masyarakat kita yang masih kurang memahami hakikat kehidupan ini dan masih sering mempersoalkan status para wanita yang masih melajang di usia yang sudah matang.

Saya sendiri menikah pada usia yang juga sudah tigapuluhan, tepatnya tiga puluh satu tahun lebih enam bulan. Belum terlalu tua memang, namun sudah cukup tua bila dibandingkan dengan orang-orang di sekitar saya, apalagi yang berlatar belakang seperti saya. Mereka sebagian besar atau bisa dikatakan hampir seluruhnya menikah dalam usia muda, antara dua puluh satu sampai dua puluh empat tahun.

Saya bukan ingin menceritakan bahwa saya adalah orang yang patut dicontoh karena sangat sabar menghadapi masa penantian itu. Justru sebaliknya, yang ingin saya ceritakan adalah betapa kurangnya kesabaran saya menghadapi semua ini. Saya sudah tak ingat lagi betapa banyak airmata terkuras karenanya. Langkah kaki inipun kadang tertatih-tatih berjalan di antara jatuh dan bangun.

Kini, kalau mengingat semua itu saya menyesal. Malu rasanya diri ini di hadapan-Nya. Dan entah berapa “nilai” yang akan diberikan Sang Juri ketika melihat “prestasi “ saya itu. Ingin rasanya memperbaiki, tapi nasi sudah menjadi bubur. Mungkin yang bisa saya lakukan sekarang adalah bahwa saya harus lebih memperbaiki diri dan senantiasa ridho sepenuh hati pada-Nya. Alhamdulillah, kesempatan itu masih terbuka lebar sebelum Malaikat Izrail datang memanggil.

Banyak orang mengatakan bahwa hal yang tidak disukai dalam hidupnya adalah menunggu. Menunggu memang membosankan. apalagi menunggu sesuatu yang belum pasti terjadi. Tapi menunggu juga mengasyikkan karena melatih jiwa menuju sabar. Sabar menunggu janji-Nya yang pasti terjadi, karena Allah Maha Menepati Janji. Seandainya Allah tak memberi untuk kita jodoh di dunia, maka Dia akan memberikannya di akhirat.

Tetap bersyukur dan meyakini bahwa Allah Mahaadil akan menguatkan jiwa kita ketika ujian datang menyapa. Allah mengingatkan kita,"Apakah kamu mengira akan masuk surga padahal belum datang kepadamu (ujian) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kami. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, diguncang (dengan berbagai cobaan). Sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, "Kapankah datang pertolongan Allah? Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (QS Al-Baqarah: 214).

***
Teriring salam sayang untuk Al’aa, uhibbuki fillah.

Friday, June 09, 2006

Health Journal | Medical Equipment | Indonesian Cuisine | First Aid | Dialysis Machine | Ultrasound | Nursing Agency |

Komentar Rakyat Irak terhadap Zarqawi: Sosok Fiktif, Boneka AS dan Pelaku Teror

9 Jun 2006 16:26 WIB

Apa pendapat masyarakat Irak sendiri soal kematian Abu Mus’ab Az-Zarqawi? Ternyata di antara mereka ada yang memandang berita itu peristiwa penting yang bisa menghentikan kekerasan di Irak.

Tapi ada pula yang justru memandang kematian Az-Zarqawi sebagai kemenangan Irak, khususnya kemenangan mujahidin lokal yang disebut sebagai perlawanan bersih. Di sisi lain ada pula sebagian orang yang meragukan ada tidaknya sosok yang disebut Az-Zarqawi itu. Berikut sejumlah pendapat mereka seperti dikutip BBC.

Hasan Yahya Adzari (38), jurnalis: Peristiwa tewasnya Az-Zarqawi merupakan peristiwa penting dan besar yang bisa menghilangkan alasan AS yang selama ini menuding Zarqawi berada di balik sejumlah aksi kekerasan dan penculikan di Irak. Saya merasa negara kami telah bebas dari teroris sepertinya. Banyak penduduk di sini yang keluar rumah dan menembakkan senjata ke atas langit untuk merayakan tewasnya Az-Zarqawi. Khususnya keluarga yang menjadi korban dalam sejumlah serangan yang menghantam kota-kota di Irak.

Namun demikian saya menyayangkan, yang membunuh Az-Zarqawi adalah militer AS, bukan pasukan Irak. Ini bukti bahwa pemerintah baru masih lemah. Itu persepsi saya. Saya juga khawatir situasi Irak akan lebih sengit lagi, karena kematian pemimpin Al-Qaidah itu pasti akan disambut oleh anggotanya dengan penegasan bahwa mereka masih eksis di Irak.

Menurut saya Az-Zarqawi sendiri produk Amerika awalnya. Sekarang AS ingin membuang dan melepas Az-Zarqawi lantaran sudah dianggap tidak ada gunanya. Sama seperti kasus Saddam Husain. Jadi pada waktu yang sama, ini adalah kemenangan bagi warga Irak.

Aysar Aosi (27), programmer komputer: Kematian Az-Zarqawi takkan merubah situasi di Irak. Banyak pula para pengamat yang memiliki pandangan seperti ini. Az-Zarqawi bukan satu-satunya orang yang dianggap bertanggung jawab atas kekerasan di Irak. Ada banyak kelompok bersenjata di sini. Menurut saya, AS ingin menutup kegagalannya dari ketidakmampuannya menangkap pemimpin Al-Qaidah Usamah bin Ladin dengan membunuh salah satu tokoh penting gerakan Al-Qaidah di Irak.

Banyak orang di sini justru menganggap Az-Zarqawi sebagai salah satu cara untuk mengusir tentara AS di Irak. Penduduk di Uquba, tempat saya tinggal, ada yang percaya dan tidak percaya Az-Zarqawi tewas. Mereka memandang, penangkapan dan pembunuhan pemimpin Al-Qaidah itu tidak akan bisa berlangsung dengan mudah seperti itu. Saya yakin akan ada aksi besar pembalasan kematian Az-Zarqawi.

Faras Maushali: Zarqawi yang sebenarnya sudah mati beberapa tahun lalu. Itu pernah dikatakan oleh pasukan AS sebelum ini saat mereka melakukan penyerangan pesawat udara di Muaskar Anshar Islam, di perbatasan Irak dan Iran. Adapun Az-Zarqawi yang muncul dalam rekaman video, kemudian ditampilkan jenazahnya, itu adalah jasad mata-mata yang dipekerjakan intelejen AS.

Kita harus mengetahui ada beda besar antara foto Az-Zarqawi dengan yang pernah ditampilkan beberapa tahun lalu. Perbedaan paling kelihatan ada pada kakinya. Beberapa waktu lalu, kakinya diberitakan terserang tembakan, tapi ternyata dalam gambar itu kakinya sama sekali tidak terluka.

Ali Haritsi – penduduk Ar-Ramadi: Az-Zarqawi membunuh warga Irak tanpa pandang bulu. Banyak yang meninggal. Karena itu kesuksesan tentara AS membunuh Az-Zarqawi adalah juga kemenangan perlawanan mujahidin Irak yang bersih, karena tidak mengarahkan perlawanan kecuali terhadap pasukan AS saja. Itu berbeda dengan sikap kelompok Az-Zarqawi. Ia mempunyai organisasi teroris di Irak dan dengan kematiannya, berarti aksi teroris akan berkurang di Irak.

Sebanyak 85% orang dari penduduk di sini membenarkan Az-Zarqawi telah tewas, tapi sisanya memandang Az-Zarqawi itu sosok fiktif buatan AS saja. (na-str/bbc)

Thursday, June 08, 2006

Health Journal | Medical Equipment | Indonesian Cuisine | First Aid | Dialysis Machine | Ultrasound | Nursing Agency |

hukma pic 1st anniversary


The time is going so fast, i didnt realise our marriage going to forth year, and we celebrate 1st anniversay our daughter Hukma. We hope she will be our investment in the future and hereafter.

Thank You Allah so far you give us chance to breath, to live in,.

Wednesday, June 07, 2006

Health Journal | Medical Equipment | Indonesian Cuisine | First Aid | Dialysis Machine | Ultrasound | Nursing Agency |

Keluarga Tarbiyah, Tarbiyah Keluarga

Oleh Azimah Rahayu

“De, Mas keluar sebentar ya? Sudah lama tidak ngobrol. Ade tidur dulu kalau sudah ngantuk,” Aku mengangguk dan beranjak ke kamar mandi. Jarum jam sudah melewati angka sebelas. Saat hendak kembali ke kamar, pemandangan di ruang tengah itu menakjubkanku. Pria wanita paro baya dan tiga lelaki gagah tengah bercengkerama bersama di atas tikar. Tiga lelaki perkasa berlomba memijit ayah ibunya sambil berbincang akrab. Aku tak hendak mengganggu kemesraan itu. Setelah sedikit basa-basi aku masuk ke kamar.

Aku tergugu. Ah, semestinya tidak perlu. Ini hanya sedikit cemburu, namun lebih banyak kekaguman. Ini hanya sedikit goresan, namun lebih banyak kebahagian. Bahagia karena aku mendapat kesempatan menjadi bagian dari mereka. Tapi tak urung, air menetes jua dari kedua sudut mata. Kucoba menutup mata, berbaring sendirian di kamar suamiku. Di kamar sebelah, rengekan bayi merah yang belum lagi berusia sebulan kadang-kadang meningkahi. Keponakanku, yang bapaknya juga tengah bergabung di forum ayah ibu anak itu. Namun yang tak bisa terhapus dari gendang telingaku adalah suara-suara rendah dari ruang tengah di depan kamar itu. Gumaman dan canda hangat mereka. Sungguh bahagianya. Iri

****

Sesungguhnyalah, ini hanya satu dari banyak keseharian yang diam-diam menyelipkan kesungkanan di hatiku, selama kurang dari seminggu aku ada di tengah mereka. Keluarga suamiku. Bukan kesungkanan yang berawal dari ketidakenakan, namun kesungkanan yang berakar kekaguman dan respek atas akhlak yang terpancar dari tingkah laku. Bukan kesungkanan yang bersumber dari ketakutan, tapi karena malu atas diri yang masih begitu banyak memiliki kekurangan.

Dan peristiwa malam ini, adalah puncak dari segala kekaguman sekaligus keirianku, selama kurang lebih seminggu aku ada di sana. Rasanya, tidak pernah kutemui sesuatu yang tidak Islami di sana. Tidak kutemui sesuatu yang tidak mengenakkan antara satu dan lainnya.

1. Tak ada satupun praktek-praktek yang menjurus ke arah mistis dan kesyirikan. Segala sesuatu hanya mereka jalankan berlandaskan aqidah dan syariah Islam.
2. Salam terlantun dan jabat tangan erat diberikan setiap kali salah satu penghuni rumah ini berangkat atau pulang dari bepergian keluar kampung, meski hanya beberapa kilometer. Bahkan, Ibu dan Eyang selalu melengkapi dengan doa.
3. Gegas langkah berpacu menuju masjid setiap kali azan berkumandang. Namun tak lupa mereka bergantian menyisakan satu orang untuk shalat jama’ah di rumah menemani Eyang yang tak lagi kuat.
4. Lantunan ayat-ayat Qur’an nan indah bersautan tiap ba’da maghrib atau subuh. Bukan hanya indah, tapi juga tartil. Sesuatu yang selalu membuatku rela berlama-lama tertunduk mendengarkan.
5. Aurat yang selalu terjaga di segala waktu dan kesempatan.
6. Bakti dan penghormatan yang begitu takzim bagi orang tua. Kamar Eyang selalu menjadi pilihan utama untuk tempat bercengkerama.
7. Tak ada nada-nada tinggi maupun kosa kata rendah dalam perbincangan sehari-hari. Bahkan sekedar bahasa prokem pun tiada. Semua kalimat meluncur santun dari setiap lisan. Tapi toh, itu semua tidak mengurangi keakraban di antara mereka. Satu dengan yang lainnya saling mengetahui dan membicarakan setiap permasalahan anggota keluarga.
8. Semua anggota keluarga sigap dan saling membantu pekerjaan rumah tangga, tanpa diminta apatah lagi diperintah. Tak ada istilah aktifitas domestik adalah tanggung jawab seorang ibu, satu-satunya perempuan di keluarga itu. Maka rumah sederhana itu selalu tampak bersih dan rapi.
9. Silaturahim yang begitu akrab dengan kerabat. Hanya dalam waktu seminggu, rasanya sudah seluruh penghuni kampung kecil itu kukunjungi dan kukenali.
10. Kepedulian yang begitu nyata terhadap tetangga dan orang lain, serta kegiatan sosial.
11. Perhatian yang ketat terhadap kehalalan makanan, baik zat maupun cara perolehannya.
12.....Apalagi?

Baris-baris di atas hanya setitik dari keseharian mereka yang kutangkap secara kasat mata dalam waktu seminggu, namun sanggup mematrikan kesan mendalam di benakku. Keluarga ini, sungguh mencerminkan sebuah keluarga Islami yang sesungguhnya. Sibghatullah (celupan Allah) itu mewarnai mereka hingga ke tulang sumsum dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Dan itu semua adalah buah penghayatan akan Islam. Dan semua itu adalah hasil tarbiyah (pendidikan) Islamiyah yang turun temurun mereka jalankan penuh kesungguhan. Tarbiyah Islamiyah yang dibangun di atas pemahaman yang benar. Tarbiyah dalam keseharian yang menginspirasiku: Akan kudidik anak-anakku dan kubangun keluargaku dengan bercermin pada mereka.

***

Sebuah kamar yang sangat sederhana, namun penuh kehangatan cinta. Kamar bapak ibu mertuaku. Malam itu, adalah malam terakhir kami di kampung pasca pernikahan, sebelum esoknya berangkat ke Jakarta.
“Anak-anakku. Bapak dan ibu tidak punya apa-apa sebagai sangu, kecuali pesan-pesan ini. Bapak yakin, kalian berdua sudah mengerti, tapi tidak ada salahnya kalau kami mengingatkan kembali. Anggaplah ini sedikit bekal hidup berumahtangga dan bermasyarakat nanti. Pertama, satu hal yang sangat bapak pesankan, jaga shalat kalian. Sesungguhnya shalat itu pokoknya ibadah. Jika rusak shalat kalian, maka rusaklah semua amal kalian. Maka sekali lagi bapak pesankan, jaga shalat kalian baik-baik, jangan sampai bolong. Bila dapat selalu tepat waktu dan berjamaah untuk shalat wajibnya. Perbanyak shalat sunnahnya...,” Sepi sejenak membawa jeda. “Yang kedua, perbanyak teman, jangan perbanyak musuh. Di perantauan, keluarga kalian adalah tetangga terdekat kalian, bukan kita yang di kampung. Maka jaga hubungan baik dengan tetangga. Sesungguhnya pagar mangkok lebih baik daripada pagar tembok. Terus yang ketiga, jangan lupa berzakat dan infaq berapa pun pendapatan kalian. Sesungguhnya dalam setiap harta kita terdapat hak orang lain. Insya Allah, keberkahan akan dilimpahkanNya bagi harta yag senantiasa dibersihkan....”Laki-laki itu terdiam sejenak, kemudian menoleh ke wanita baya di sebelahnya. “Ibu ada yang mau ditambahkan?”

“Ibu cuma mau tambahkan satu hal: usahakan membaca Qur'an tiap hari, meski hanya beberapa ayat. Bacaan Quran di rumah kita akan membuat rumah kita adem dan tentrem. Bahkan sekalipun Genduk dan Thole terlalu lelah. Minimal lafalkan seayat dua ayat menjelang tidur jika tidak sempat membuka mushaf...,”

Aku tertunduk khusyuk. Mencoba mencerna kata demi kata yang mengalir sejuk itu. Menikmati dentam-dentam kekaguman yang kian menggunung dalam dada. Betapa bahagia aku menjadi bagian dari mereka. Dan tentu saja, betapa beruntung aku dapat belajar langsung dari keseharian mereka.

#Azimah 25/04/06, maksain nulis atas ide yang sekian lama mengendap --Persembahan untuk Bapak-Ibu Lor Sekeluarga---

Friday, June 02, 2006

Health Journal | Medical Equipment | Indonesian Cuisine | First Aid | Dialysis Machine | Ultrasound | Nursing Agency |

Relawan PKS Syahid Saat Evakuasi Korban Gempa

Korps relawan PKS Jateng berduka. Satu anggotanya turut menjadi korban saat mengevakuasi korban gempa di Kecamatan Tambak Mulyo, Klaten pukul 01.30 WIB, Senin (29/5/2006). Relawan tersebut adalah Nugroho Prasetyo (29). Pada saat kejadian, ia bersama relawan lain, Eko (26). Nugroho tewas setelah tertimpa reruntuhan rumah pada pukul 23.30 WIB.

Sebetulnya, Eko dan beberapa warga sempat membawa Nugroho ke RS Tegalyoso Klaten. Namun 2 jam kemudian, karena pendarahan yang dialami cukup parah, nyawa bapak dua anak itu tak tertolong.

Hari ini, Nugroho dibawa dan dimakamkan di rumahnya, Desa Awu-awu, RW I RT 2 Purworejo. "Kami turut berbela sungkawa. Semoga pengorbanan Nugroho mendapat balasan yang setimpal," kata Humas PKS Jateng Hadi Santosa melalui pesan singkatnya.

Mengenai relawan, Hadi menjelaskan, hingga kini, PKS telah memberangkatkan 3 rombongan ke Yogyakarta dan Jateng. Hal itu dilakukan sejak 27 Mei lalu. Rombongan pertama berjumlah 60 orang, kedua (100 orang), dan terakhir 875 orang.

"Relawan ini belum termasuk Klaten dan Magelang. Mereka tak hanya membantu evakuasi, tapi juga pengobatan," katanya.

Di lokasi bencana gempa, relawan PKS telah mendirikan 50 tenda peleton yang tersebar di Klaten dan Bantul. Untuk membantu gerak relawannya, PKS mengirim 4 ambulans dan beberapa pikap. Juga, satu mobil pembawa obat-obatan dan peralatan medis.

Sumber: detikcom