Apa arti sebuah nama, itu kata-kata yang sering kita dengar dan kita baca. Waktu di Indonesia, dan saya orang Sunda waktu itu saya sering mendengar nama nama, Encum, Iam, Iyah, Ikah, Ijah, Iroh, Mae, kokom, Empat, Isah, kalo laki-laki sering dengar nama Omay, Omad, Oman, Ocid, Ii, Mumuh, Giwah, Adul, Eman, Akih, dan saya agak miris mendengarnya, karena kampungan, berbau feodal, dan identik dengan low social class. Entah karena unsur kesengajaan atau karena lidah orang tua kita agak susah mengucapkan sesuatu yang fasih dan lebih memilih sesuatu yang serba praktis untuk di ucapkan sebagai nama panggilan.
Setelah sekian lama saya berhijrah ke negeri Arab, setelah berkeluarga dan dikaruniai seorang putri, berbalik seratus delapan puluh derajat sekarang lebih menghargai nama-nama yang disebutkan tadi daripada nama-nama orang barat atau bukan yang bersumber dari Islam. Ceritanya berawal ketika hamil istri saya sudah memasuki 3rd trimester, dan saya harus sudah mempunyai minimal dua konsep nama, pertama untuk laki-laki, kedua untuk perempuan, hampir tiap malam saya surfing di internet untuk mencari nama-nama yang cocok untuk calon bayi, ternyata tidak mudah juga bagi saya cari nama itu, pertama harus yang bermakna, harus mempunyai momen atau peristiwa tertentu, tidak pasaran dan harus yang baik, itu criteria saya. Kemudian terlintas benak, subhanallah ternyata nama-nama yang saya sebutkan tadi di atas, yang dianggap nama jelek oleh saya dan sebagian kalangan ternyata adalah nama-nama mulia, nama shahabat dan shahabiah serta nama-nama Islami, Encum asalnya dari Kulsum, Iam asalnya dari Maryam, Iyah asalnya dari Rukoyah, Ikah asalnya dari Atiqah, Ijah asalnya dari Khodijah, Iroh asalnya dari Maisyaroh, Mae kependekan dari Maemunah, kokom asalnya dari Qomariyah, Empat asalnya dari Fatimah, Isah asalnya dari Aisyah, Omay asalnya dari Komar, Omad asalnya dari Mohd, Oman asalnya dari Rohman, Ocid asalnya dari Rashid, Ii kependekan dari Ijuddin, Mumuh dari Muhtadin, Giwah dari Ridwan, Adul asalnya dari Abdul, Eman asalnya dari Sulaiman, dan Akih dari Faqih. Itulah pengrusakan nama, sehingga citra dan image Islam jadi jelek. Mudah-mudahan itu karena ketidak tahuan orang tua kita bukan berangkat dari kesengajaan. Kepada orang tua dan calon orang tua jangan sungkan-sungkan untuk memberikan nama yang bagus dan Islami, karena nama itu adalah doa.
Kalau tadi sifat bagus dibikin citra jelek, sekarang kebalikannya, citra jelek dibikin bagus, atau minimal dibiaskan oleh media masa dan oleh orang yang senang terhadap merajalelanya kemungkaran.Contoh halnya, Bagiyya disebutkan dalam Al-qur’an julukan bagi orang pezina, yang mempunyai citra dan nama yang buruk, sama media masa dirubah dan diperhalus jadi tuna susila, kupu-kupu malam, pekerja seks komersial, seolah olah merupakan profesi atau karir dan nama yang indah. Penyakit Syphilis di expose jadi Raja singa menjadi sesuatu yang gagah, Hutang diganti jadi pinjaman lunak, perampokan dinamai penggelapan uang, dan masih banyak lagi memenuhi perbendaharaan bahasa Indonesia yang salah kaprah.
Hemat saya kita harus berhati-hati terhadap hal ini karena secara tidak disadari efeknya akan melunturkan nilai-nilai susila, norma, akhlak dan perilaku, sehingga sesuatu yang asalnya tidak wajar dan dianggap dilarang menurut norma masyarakat dan agama menjadi sesuatu yang bersifat umum dan lumrah. Benar sabda Rasulullah, tidak akan terjadi kiamat sebelum perzinahan sudah menyebar dimana-mana. Rasul juga bersabda, sungguh ada diantara umatku yang menghalalkan sutra, perzinahan dan musik. Inilah mungkin zamannya yang rasul sejak dulu mewasiatkan kepada kita telah terjadi sekarang, suatu yang bersifat Islami, menjadi hal yang asing dan tidak lumrah tidak modern dan tidak up to date, sehingga nilai-nilai ajaran Islam yang bersifat sunnah dan syariat menjadi luntur, asing dan hilang di mata masyarakat muslim. Berbahagialah kita sebagai ghuraba, orang yang asing di tengah komunitas kita, sebagaimana Islam akan muncul menjadi sesuatu yang asing.